BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 27 Mei 2009

Mangrove In Mahakam River


Gambar 1. Peta Indonesia

Ekosistem mangrove memiliki lingkungan yang sangat kompleks sehingga diperlukan beberapa adaptasi baik morfologi, fisiologi, maupun reproduksi terhadap kondisi tersebut. Beberapa adaptasi yang dilakukan terutama untuk beberapa aspek sebagai berikut :
Bertahan dengan konsentrasi garam tinggi
Pemeliharaan Air Desalinasi
Spesialisasi Akar
Reproduktif
Respon Terhadap Cahaya
Organisme yang hidup di ekosistem mangrove terutama pohon mangrove memiliki kelebihan untuk dapat bertahan pada kondisi dengan salinitas lingkungan yang tinggi. Ada tiga mekanisme yang dilakukan oleh pohon mangrove untuk bertahan terhadap kelebihan garam dari lingkungannya antara lain mensekresi garam (salt-secretors), tidak mensekresi garam (salt-excluders) dan mengakumulasi garam (accumulators).


Zonasi dan penggenangan
Spesies mangrove yang terdapat di suatu lokasi dapat berbentuk monospesies (tunggal) atau spesies campuran yang paralel terhadap garis pantai. Aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya zonasi mangrove menjadi perdebatan dan Santos et al (1997) menyatakan bahwa untuk meneliti zonasi mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan pola berdasarkan :
a. Suksesi Tumbuhan :
Pola zonasi spasial dihasilkan dari sekuens suksesi mangrove berdasarkan waktu sampai mencapai klimaksnya
b. Perubahan Geomorfologi
Asumsi yang digunakan adalah perkembangan pola zonasi berdasarkan waktu dan spasial yang dinamis sebagai akibat dari perubahan fisik dan lingkungan pada zona mid littoral seperti perubahan ukuran, konfigurasi, topografi dan geologi.
c. Fisiologi-Ekologi
Masing-masing spesies memiliki kondisi lingkungan yang optimum dan terbatas pada segmen tertentu untuk perubahan lingkungan yang terjadi.
d. Dinamika populasi
Zonasi merupakan respons terhadap perubahan faktor biotik seperti kompetisi interspesifik, reproduksi tumbuhan, strategi kolonisasi. Temperatur air dan udara serta banyaknya curah hujan menentukan jenis­jenis mangrove yang terdapat di suatu lokasi. Macnae (1966) berpendapat bahwa distribusi dan zonasi mangrove merupakan interaksi antara :
1.frekuensi pasang surut yang menggenangi,
2.kadar garam air lahan/tanah; dan,
3.kadar air lahan (drainase).
Johnstone dan Frodin (1983) mengusulkan enam tipe yang menyebabkan terjadinya zonasi yaitu:
kedalaman air dan penggenangan - ombak
pengeringan
salinity/freshwater mendominasi
substrat
Biota dan interaksi biotik
Seperempat kawasan hutan dataran rendah Indonesia yang didominasi hutan mangrove, disinyalir telah habis akibat berbagai kegiatan konversi. Jika laju perusakan hutan masih seperti sekarang, diperkirakan pada tahun 2010 seluruh kawasan hutan dataran rendah tersebut akan lenyap. Data dari World Bank maupun World Conservation Forum yang menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,5-2 juta hektare (ha) per tahun. Jika keadaan ini berlanjut, pada tahun 2005 hutan dataran rendah di Sumatera akan lenyap, menyusul Kalimantan di tahun 2010. Berdasarkan data Wetland International, setiap tahunnya ada sekitar lima juta populasi burung yang bermigrasi menghindari musim dingin, di habitat asalnya ke daerah yang lebih hangat.
Di Indonesia, ada 15 lokasi yang diidentifikasi sebagai tempat persinggahan burung-burung migran tersebut. Salah satu lokasi, berada di Semenanjung Banyuasin, Sumatera Selatan. Kawasan yang termasuk dalam area TN Sembilang ini, tercatat sebagai jalur yang digunakan lebih dari 75 jenis burung yang bermigrasi pada jalur Asia-Australia bagian timur. Setiap tahun diperkirakan ada sekitar 114.500 ekor burung migran yang singgah di lokasi itu, sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke Australia.
Dampak dari rusaknya ekosistem mangrove adalah terjadinya perubahan iklim. Menurut sejumlah penelitian yang dilakukan oleh para pakar menyatakan bahwa perubahan iklim global disebabkan oleh dua hal, yakni naiknya temperatur panas bumi yang disebabkan terjadinya penggundulan hutan. Hutan yang berfungsi sebagai penyerap panas (karbon dioksida) semakin gundul sehingga menyebabkan naiknya temperatur bumi. Dampak lain adalah terjadinya perubahan iklim, yakni naiknya temperatur panas yang kita rasakan belakangan ini. Rusaknya ekosistem lingkungan hutan berdampak pada perubahan iklim, dan terjadinya pergeseran antara musim kemarau dan musim hujan.
Hutan bakau di Indonesia saat ini dinilai dalam keadaan sangat kritis. Di beberapa pesisir, hutan bakau mengalami kerusakan yang sangat parah hingga mencapai 90 persen. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1993 -2003), hutan bakau yang berada di seluruh pesisir Indonesia lenyap. Akibatnya, kualitas kehidupan masyarakat pesisir pun turut merosot dan bencana alam tidak terhindarkan.
Manurut hasil penelitian yang dilakukan oleh ICoMAR, pada tahun 1997 mangrove di kawasan delta mahakam mencapai 150.000 ha, namun kini hanya tersisa 15 persen atau sekitar 2.000 ha.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi sumber daya mangrove yang sangat luar biasa. Apabila dikelola dengan baik maka dapat memberikan manfaat besar bagi kita semua. Negeri yang hijau yang digambarkan sebagai paru-paru dunia, kini menjadi negeri yang menakutkan. Keramahan alam yang dulu dikenal begitu ramah, kini seperti begitu mudahnya mengeluarkan amarah. Beberapa waktu lalu begitu banyak peristiwa alam yang merenggut banyak jiwa warga.
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Secara biologi fungsi dari pada hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, fungsi yang lain sebagai daerah mencari makan (feeding ground) karena mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove dimana dari sana tersedia banyak makanan bagi biota-biota yang mencari makan pada ekosistem mangrove tersebut, dan fungsi yang ketiga adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Selain itupun merupakan pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya. Secara fisik mangrove berfungsi dalam peredam angin badai dan gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Secara ekonomi mangrove mampu memberikan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, baik itu penyediaan benih bagi industri perikanan, selain itu kayu dari tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan untuk sebagai kayu bakar, bahan kertas, bahan konstruksi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Dan juga saat ini ekosistem mangrove sedang dikembangkan sebagai wahana untuk sarana rekreasi atau tempat pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan negara. Ekosistem mangrove secara fisik maupun biologi berperan dalam menjaga ekosistem lain di sekitarnya, seperti padang lamun, terumbu karang, serta ekosistem pantai lainnya. Berbagai proses yang terjadi dalam ekosistem hutan mangrove saling terkait dan memberikan berbagai fungsi ekologis bagi lingkungan. Selain itu hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi. Tingginya produktivitas ini karena memperoleh bantuan energi berupa zat-zat makanan yang diangkut melalui gerakan pasang surut. Sebagai produser primer, mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktivitas pada ekosistem estuari dan perairan pantai melalui siklus materi yang berdasarkan pada detritus atau serasah. Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem mangrove dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk menggambarkan produktivitas.


Gambar 2. Mahakam River

Sebaran hutan mangrove di dataran Delta Mahakam, yang terletak di Propinsi Kalimantan Timur, mengalami degradasi akut. Kawasan yang memiliki arti penting bagi lingkungannya tersebut telah digantikan oleh ribuan hektar tambak udang semenjak krisis moneter di tahun 1997, yang didorong oleh harga udang ekspor yang melejit. Setelah periode kemakmuran yang sangat singkat tersebut, hanya sekitar 5 tahun dan dimana sebagian besar keuntungan lari kepada investor luar, penduduk setempat kini menghadapi lingkungan yang rusak. Kualitas air minum menurun, ternak udang terkena penyakit, erosi pantai dan sungai meningkat, konflik horisontal penggunaan lahan meruncing, dan potensi perikanan di kawasan hutan mangrove merosot drastis.


Gambar 3. Zonasi tumbuhan di Delta Mahakam

Luas hutan mangrove di Delta Mahakam semula diperkirakan mencapai 1000 km2, namun saat ini yang tersisa hanya 20 %. Sekitar 80 % lainnya telah musnah dibabat dan berganti menjadi ribuan hektar tambak udang dengan produksi sekitar 5600 ton per tahun. Selama ini, pengaruh pembabatan hutan mangrove terhadap penurunan daya dukung fisik pesisir dapat dikategorikan menjadi 3 hal, yaitu peningkatan laju abrasi, intrusi air laut, dan penurunan potensi perikanan.

Gambar 4. Citra satelit SPOT meliputi sebagian Delta Mahakam.

*Warna merah mengindikasikan tutupan vegetasi, termasuk hutan mangrove. (a) Tahun 1992, tambak udang hanya meliputi 4 % dari luas hutan mangrove. (b). Tahun 1998, tambak udang telah merusak 41% dari luas hutan mangrove. (c) Inset dari daerah di dalam kotak bergaris putih pada gambar (b), menunjukkan pola tambak yang berkembang di kawasan tersebut.



Gambar 5. Proses perubahan lahan secara drastis di Delta Mahakam sebagai dampak krisis moneter. Perubahan paling besar dialami oleh hutan nipah

Delta Mahakam terbentuk dari hasil sedimentasi Sungai Mahakam, sebuah sungai terpanjang di Kalimatan Timur, selama ribuan tahun. Menurut data hasil perhitungan melalui google earth diperoleh panjang Sungai Mahakam sekitar 516,83 km atau setara dengan 516.831,66 m. Sedangkan luas datarannya adalah sekitar 1700 km2 yang terbagi menjadi 4 zona vegetasi, yaitu hutan tanaman keras tropis dataran rendah, hutan campuran tanaman keras dan palma dataran rendah, hutan rawa nipah dan hutan bakau (Gambar 1). Dua zona vegetasi yang terakhir, karena penyebarannya tergantung pada keberadaan air laut, seringkali disebut bersama-sama sebagai hutan mangrove, dan menutupi 60% luas dataran delta. Sistem perakaran hutan mangrove yang kokoh mampu menahan empasan ombak dan mencegah abrasi pantai, membuatnya berfungsi sebagai zona penyangga (buffer zone).
Ekosistem hutan mangrove merupakan habitat bagi beragam jenis biota laut. Penduduk setempat sudah lama memanfaatkan kawasan ini sebagai areal tangkapan ikan, udang, dan kepiting. Kekayaan ekosistem Delta Mahakam sangat didukung oleh lokasi delta tersebut yang terletak di tepi barat Selat Makassar, sebuah selat yang sangat penting bagi iklim dan ekonomi dunia. Melalui selat inilah, arus laut antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia mengalir dan kaya akan zat-zat nutrisi.
Semenjak tahun 1996, laju abrasi diperkira-kan mencapai sekitar 1.4 km2 per tahun; semen-tara sebelumnya hanya sekitar 0.13 km2 per tahun [8]. Angka-angka tersebut sungguh mengejutkan, karena menunjukkan adanya peningkatan laju abrasi pantai sebesar 10 kali lipat akibat rusaknya hutan mangrove.
Dewasa ini, penduduk di bagian hilir daerah aliran sungai (DAS) Mahakam semakin sering mengalami intrusi air laut terhadap sumur-sumur mereka dan menyebabkan air sumur menjadi berasa payau. Hampir setiap musim kemarau intrusi air laut masuk puluhan kilometer dari garis pantai dan juga diduga menyebabkan semakin menghilangnya berbagai jenis ikan air tawar.
Kegiatan pertambakan di Delta Mahakam telah melebihi daya dukung lingkungan. Ketika luas areal mangrove yang dialihfungsikan melebihi 20%, masalah degradasi lingkungan mulai muncul yang berdampak pada kematian udang hingga kegagalan panen. Diperkirakan kematian udang tersebut antara lain disebabkan oleh pencemaran pakan udang, penggunaan benih udang yang tidak bebas penyakit dan sistem sanitasi tambak yang buruk. Kegagalan panen tambak tersebut kemudian berakibat pada terpicunya konflik horisontal antara dua pelaku utama ekonomi utama daerah tersebut, yaitu petani tambak dan perusahaan industri minyak dan gas bumi. Petambak mengklaim bahwa polusi dan limbah buangan dari perusahaan yang menjadi penyebabnya. Sedangkan perusahaan mengatakan telah menggunakan teknik eksploitasi dan pengelolaan limbah yang aman terhadap lingkungan.
Hancurnya ekosistem mangrove juga berakibat punahnya kawasan memijah dan pembesaran untuk beragam jenis ikan di Delta Mahakam dan kawasan laut di sekitarnya. Kondisi tersebut mengakibatkan merosotnya produksi perikanan pesisir. Menurut pengakuan seorang nelayan, sebelum marak pembukaan tambak tahun 1999, mereka bisa menangkap ikan bawal sekitar 20 kilogram per hari. Namun, saat ini, untuk mendapat 10 kilogram bawal per hari sudah cukup sulit. Bahkan para pencari bibit udang sudah mengeluh karena hasil perolehan bibit terus mengalami penurunan.
Secara alamiah Delta Mahakam menghadapi naiknya muka air laut yang menyebabkan pengaruh energi laut semakin kuat dan laju abrasi pantai semakin meningkat. Secara umum, proses naiknya air laut tersebut disebabkan oleh dua faktor, yaitu pemanasan global dan penurunan geologis. Semenjak abad ke 20, diperkirakan akan terjadi kenaikan muka airlaut sebesar 3 mm/tahun akibat pemanasan global. Sebelumnya, kenaikan muka air laut akibat penambahan volume air laut di kawasan tersebut diperkirakan hanya sebesar 0.8 mm/tahun. Secara geologis, Delta Mahakam juga terus-menerus mengalami penurunan permukaan daratan (land subsidence) dengan kecepatan sekitar 0.5 mm/tahun. Hal ini terjadi karena sekitar 80 % dari volume delta tersebut tersusun oleh endapan lumpur yang bersifat mudah terpadatkan. Selain itu, Delta Mahakam terletak pada kawasan tektonik aktif, dimana kerak bumi mengalami pergerakan secara vertikal, membuat proses penurunan daratan tersebut menjadi semakin signifikan. Hasil analisa geomorfologi dan sedimentologi menunjukkan proses penurunan geologis tersebut diperkirakan sekitar 2.7 mm/tahun. Sungai Mahakam sebetulnya adalah jenis sungai pasang-surut dimana pengaruh proses pasang surut dari laut mencapai jarak 140 km dari garis pantai ke arah hulu. Bahkan pada musim kemarau yang sangat ekstrim, seperti yang terjadi pada penghujung tahun 1982, pengaruh pasang surut tersebut mampu mencapai 360 km dari garis. Debit rerata air laut yang terbawa masuk ketika pasang dapat mencapai 2,5 kali lebih besar daripada debit rerata air tawar Sungai Mahakam, dan analisa dinamika arus menunjukkan bahwa transportasi sedimen pada bagian muara delta adalah bergerak ke arah daratan. Data-data tersebut menunjukkan bahwa secara alamiah pengaruh laut terhadap delta dan DAS Mahakam bagian hilir adalah besar dan signifikan.
Meskipun demikian, berkurangnya hutan mangrove di kawasan delta membuat pengaruh proses pasang-surut tersebut semakin dominan dan menyebabkan air laut semakin mudah masuk ke arah daratan dan membawa kembali limbah dari DAS Mahakam. Hal ini cukup mudah dipahami karena luasan hutan mangrove Delta Mahakam yang dapat menampung sementara air laut saat pasang semakin berkurang.
Ternyata hilangnya zona penyangga pesisir kawasan hutan mangrove akibat industri tambak disertai oleh proses penurunan delta secara alamiah karena faktor geologis. Kombinasi faktor antropogenik dan alamiah tersebut menyebabkan degradasi kualitas lingkungan berlangsung sangat cepat. Limbah-limbah dari DAS Mahakam, yang mestinya mampu dibuang ke laut lepas, akhirnya terperangkap di kawasan delta yang semakin terbuka terhadap energi laut yang semakin menguat. Untuk itu diperlukan studi lingkungan yang integral dan multidisiplin, yang tidak hanya meliputi kawasan Delta Mahakam saja, namun juga mempelajari perubahan lingkungan di sepanjang daerah aliran.
Menghadapi rusaknya hutan mangrove, sebaiknya dilakukan langkah-langkah praktis. Diperlukan penetapan status perlindungan pada areal mangrove yang masih utuh dan dilanjutkan dengan rehabilitasi kawasan yang telah rusak.
Pemerintah diharapkan menyusun kembali perencanaan tata ruang untuk kawasan Delta Mahakam. Dalam mengatasi konflik kepentingan, pemerintah harus berfungsi sebagai penengah dan semua stakeholder dilibatkan dalam mencari solusi terbaik. Faktor sosial harus diperhatikan mengingat budidaya tambak tersebut menyangkut mata pencarian penduduk. Badan pengelola terpadu perlu diaktifkan kembali untuk mencegah kerusakan Delta Mahakam lebih lanjut. Selama ini ijin pembukaan tambak hanya diberikan oleh kepala desa tanpa wewenang dari pihak diatasnya. Secara organisasi, pelestarian kawasan delta semestinya dikendalikan oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan potensi perikanan dan budidayanya ditangani oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.
Dan yang paling utama demi kelestarian alam berkesinambungan adalah perlunya upaya peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingya pelestarian hutan mangrove.

0 komentar: