BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 27 Mei 2009

POLUSI AKIBAT KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT & DAMPAKNYA TERHADAP MANUSIA SERTA LINGKUNGAN

-8">

Berdasarkan Konvensi Ramsar, luas lahan basah (wetland) di dunia mencapai 8.558.000 km2 atau lebih dari 6% luas permukaan bumi yang terbagi atas zona polar 200.000 km2; Boreal 2.558.000 km2; sub Boreal km2; sub tropis km2 dan zona tropis 2.638.000 km2 (Maltby and Tuner, 1983). Indonesia termasuk ke dalam tujuh negara di Asia Pasifik yang mempunyai lahan basah yang didukung oleh keanekaragaman lahan basah yang luas. Kini, luas lahan basah di Indonesia adalah sekitar 30,3 juta ha.

Gambut merupakan salah satu lahan basah di Kalsel yang cukup menjanjikan. Gambut adalah tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut. Di Kalimantan Proses pembentukan gambut terjadi baik pada daerah pantai maupun di daerah pedalaman dengan fisiografi yang memungkinkan terbentuknya gambut, oleh sebab itu kesuburan gambut sangat bervariasi, gambut pantai yang tipis umumnya cukup subur, sedang gambut pedalaman seperti di Bereng Bengkel KalTeng kurang subur.

Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang berasal dari tumbuhan purba berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >40 cm. Proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1996). Menurut Andrisse (1988) gambut di daerah tropis terbentuk kurang dari 10.000 tahun lalu. Gambut pantai di Asia Tenggara umumnya berumur kurang dari 6.000 tahun .

Kesuburan gambut sangat bervariasi dari sangat subur sampai sangat miskin. Gambut tipis yang terbentuk diatas endapan liat atau lempung marin umumnya lebih subur dari gambut dalam (Widjaya Adhi, 1988). Atas dasar kesuburannya gambut dibedakan atas gambut subur (eutropik), gambut sedang (mesotropik) dan gambut miskin (oligotropik). Secara umum kemasaman tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin tebal bahan organik maka kemasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki kemasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang sangat masam akan menyebabkan kekahatan hara N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo. Unsur hara Cu, Bo dan Zn merupakan unsur mikro yang seringkali sangat kurang (Wong et al. 1986, dalam Mutalib10 et al.1991.) Kekahatan Cu acapkali terjadi pada tanaman jagung, ketela pohon dan kelapa sawit yang ditanam di tanah gambut.

Tanah gambut ombrogen dengan kubah gambut yang tebal umumnya memiliki kesuburan yang rendah dengan pH sekitar 3,3 namun pada gambut tipis di kawasan dekat tepi sungai gambut semakin subur dan pH berkisar 4,3 (Andriesse, 1988). Kemasaman tanah gambut disebabkan oleh kandungan asam asam organik yang terdapat pada koloid gambut. Dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob menyebabkan terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat yang menyebabkan tingginya kemasaman gambut. Selain itu terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat dapat meracuni tanaman pertanian (Sabiham, 1996). Jika tanah lapisan bawah mengandung pirit, pembuatan parit drainase dengan kedalaman mencapai lapisan pirit akan menyebabkan pirit teroksidasi dan menyebabkan meningkatnya kemasaman gambut dan air disaluran drainase.Sagiman, 2001).

Dari luasan total lahan gambut di dunia sebesar 423.825.000 ha, sebanyak 38.317.000 ha terdapat di wilayah tropika. Sekitar 50% dari luasan lahan gambut tropika tersebut terdapat di Indonesia yang tersebar di pulau-pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua, sehingga Indonesia menempati urutan ke-4 dalam hal luas total lahan gambut sedunia, setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat.

Diperkirakan sedikitnya 20% dari luasan lahan gambut di Indonesia telah dimanfaatkan dalam berbagai sektor pembangunan meliputi pertanian, kehutanan, dan penambangan (Rieley dkk, 1996). Karena wataknya yang sangat rapuh, luasan lahan gambut di Indonesia cenderung mengalami penurunan, diperkirakan yang masih tersisa tidak lebih dari 17 juta hektar (Kurnain, 2005). Bahkan dari data yang telah dipublikasikan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 2002, luasan lahan gambut di Indonesia hanya tersisa 13,203 juta hektar dari 16,266 juta hektar tahun 1997. Dari itu semua dan dari banyak publikasi yang telah dirilis baik melalui pertemuan ilmiah maupun laporan ilmiah, satu hal yang sudah pasti adalah telah terjadi degradasi hutan dan lahan gambut di Indonesia. Degradasi ini terutama terkait dengan pengalihfungsian lahan gambut alamiah untuk pertanian, seperti perkebunan kelapa sawit dan tanaman perkebunan lainnya, penipisan lapisan gambut oleh kegiatan pengatusan (drainase), dan perusakan dan penipisan lapisan gambut oleh peristiwa kebakaran. Kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah tropika terutama di Asia Tenggara sudah terjadi selama 20 tahun terakhir ini. Kebakaran tersebut terjadi umumnya selama musim kering yang terimbas oleh periode iklim panas atau dikenal sebagai El Nino-Southern Oscilation (ENSO). Periode panas ini dapat terjadi setiap 3–7 tahun, dan lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22 bulan (Singaravelu, 2002). Pemanasan ini biasanya bermula pada bulan Oktober, terus meningkat ke akhir tahun dan berpuncak pada pertengahan tahun berikutnya.

Kebakaran hutan tropika basah di Indonesia diketahui terjadi sejak abad ke-19, yakni di kawasan antara Sungai Kalinaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Katingan) di Kalimantan Tengah, yang rusak akibat kebakaran hutan tahun 1877. Statistik Kehutanan Indonesia telah mencatat adanya kebakaran hutan sejak tahun 1978, meskipun kebakaran besar yang diketahui oleh umum terjadi pada tahun 1982/1983 telah menghabiskan 3,6 juta ha hutan termasuk sekitar 500.000 ha lahan gambut di Kalimantan Timur (Page et al., 2000; Parish, 2002). Selanjutnya pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21 propinsi terutama di Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode iklim panas ENSO, sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran hutan adalah bencana alam akibat kemarau panjang dan kering karena ENSO.. Kebakaran selama musim kering pada tahun 1997, telah membakar sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia (BAPPENAS, 1998), termasuk 750.000 ha di Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997 dinyatakan sebagai yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. Atas dasar rekaman sejarah tersebut di atas, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berulang setiap lima tahun, yang nampaknya cocok benar dengan periode iklim panas ENSO rata-rata 5 tahun.

Kebakaran hutan dan lahan gambut selama musim kering dapat disebabkan atau dipicu oleh kejadian alamiah dan kegiatan atau kecerobohan manusia. Faktor manusia yang dapat memicu terjadinya kebakaran meliputi pembukaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian berskala besar, persiapan lahan oleh petani, dan kegiatan-kegiatan rekreasi seperti perkemahan, piknik dan perburuan. Menurut pengalaman di Malaysia (Abdullah et al., 2002; Musa & Parlan, 2002) dan di Sumatra (Sanders, 2005), kegiatan pembukaan dan persiapan lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut. Pembukaan dan persiapan lahan oleh petani dengan cara membakar merupakan cara yang murah dan cepat terutama bagi tanah yang berkesuburan rendah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu memperbaiki kesuburan tanah dengan meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi kemasaman (Diemont et al., 2002). Hanya saja jika tidak terkendali, kegiatan ini dapat memicu terjadinya kebakaran.

Dalam skala besar, ancaman kebakaran terutama terjadi dalam kawasan hutan dan lahan gambut yang telah direklamasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 1997 menunjukkan bahwa sekitar 80% dari luas lahan Proyek Pengembangan.

Pembakaran lahan dan hutan sebagai upaya pembersihan vegetasi di beberapa lokasi bergambut, persawahan, atau kawasan budidaya lainnya dilakukan secara bersamaan dan terus menerus, sehingga memperluas tersebarnya asap ke berbagai penjuru dan meningkatkan konsentrasi senyawa-senyawa berbahaya yang terkandung dalam kabut asap (karbonmonoksida. karbondioksida, nitrogen monoksida, sulfur dioksida). Bencana kabut asap terjadi setiap tahun dan dalam beberapa kasus sering merugikan negara tetangga (Malaysia, Singapura). Berdasarkan pada pengidentifikasian titik panas (hotspot) dari satelit, kabupaten yang berpotensi besar menghasilkan kabut asap adalah Banjar, Barito Kuala, Tapin, Tanah Laut, Hulu Sungai Tengah (B. Post, 2005e, 2005f).

Sifat kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut berbeda dengan yang terjadi di kawasan hutan dan lahan tanah mineral (bukan gambut). Di kawasan bergambut, kebakaran tidak hanya menghanguskan tanaman dan vegetasi hutan serta lantai hutan (forest floor) termasuk lapisan serasah, dedaunan dan bekas kayu yang gugur, tetapi juga membakar lapisan gambut baik di permukaan maupun di bawah permukaan.

Berdasarkan pengamatan lapangan (Usup et al., 2003) ada dua tipe kebakaran lapisan gambut, yaitu tipe lapisan permukaan dan tipe bawah permukaan. Tipe yang pertama dapat menghanguskan lapisan gambut hingga 10–15 cm, yang biasanya terjadi pada gambut dangkal atau pada hutan dan lahan berketinggian muka air tanah tidak lebih dari 30 cm dari permukaan. Pada tipe yang pertama ini, ujung api bergerak secara zigzag dan cepat, dengan panjang proyeksi sekitar 10–50 cm dan kecepatan menyebar rata-rata 3,83 cm jam-1 (atau 92 cm hari-1). Tipe yang kedua adalah terbakarnya gambut di kedalaman 30–50 cm di bawah permukaan. Ujung api bergerak dan menyebar ke arah kubah gambut (peat dome) dan perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1,29 cm jam-1 (atau 29 cm hari-1). Kebakaran tipe kedua ini paling berbahaya karena menimbulkan kabut asap gelap dan pekat, dan melepaskan gas pencemar lainnya ke atmosfer. Di samping itu, kebakaran tipe ke-2 ini sangat sulit untuk dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat sekalipun.

Kebakaran hutan merupakan proses yang paling dominan dalam kemampuanya menimbulkan polutan di samping juga proses atrisi dan penguapan. Karena dari pembakaran itulah akan meningkatkan bahan berupa substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai jumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi dan memberikan efek terhadap manusia, hewan, vegetasi dan material (Master; 1991). Atas dasar hal tersebut, jadi jelas-jelas bahwa akibat adanya kebakaran hutan akan menghasilkan polusi udara. Ada beberapa bahan polutan dari pembakaran yang dapat mencemari udara, diantaranya adalah bahan polutan primer, seperti: hidrokarbon dan karbon oksida, karbon dioksida, senyawa sulphur oksida, senyawa nitrogen oksida, nitrogen dioksida dan ozon (O). Adapun polutan berbentuk partikel adalah asap berupa partikel karbon yang sangat halus bercampur dengan debu hasil dari proses pemecahan suatu bahan.

Karbon dioksida (CO2) merupakan emisi terbesar yang dilepaskan ke atmosfer sebagai hasil dari pembakaran adalah CO. Bersama dengan uap air, CO mencapai 90 persen dari emisi atmosfer dari kebakaran, dan sebagian besar (80-90 persen) adalah emisi C. Karbon dioksida merupakan 99 persen dari emisi C dalam kebakaran yang efisien, yaitu pembakaran yang menghabiskan sebagian besar bahan bakar, jika tidak semua, dari bahan bakar tersedia, tetapi hanya 50 persen dalam intensitas rendah smoldering fire. Meskipun bukan polutan udara, senyawa bahan kimia ini merupakan gas rumah kaca. Oleh karena itu, mempunyai potensi untuk berdampak pada iklim global melalui pemanasan atmosfer Bumi. Sedangkan karbon monoksida (CO) umumnya dihasilkan melalui pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar yang lembab (basah), dan termasuk polutan udara. Dampak CO terhadap kesehatan manusia sebagian besar bergantung pada lamanya penyebaran, konsentrasi CO dan tingkatan aktivitas fisik. Pemadam kebakaran yang terlibat langsung dalam kegiatan pemadaman atau pembangunan sekat bakar dekat lokasi pembakaran, harus berhati-hati terhadap dampak CO, yaitu pusing, lelah/lesu, dan kehilangan konsentrasi dan orientasi. Sifat yang khas dari gas CO, adalah kemampuannya untuk berikatan dengan hemoglobin ( zat warna sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh ) 200 kali lebih besar dari pada oksigen, sehingga aliran oksigen terganggu. Kondisi ini berbahaya bagi otot jantung dan pembuluh darah tepi. Pada susunan syaraf dapat menyebabkan kejang-kejang dan hilang kesadaran. Pada wanita hamil akan menyebabkan aliran oksigen ke janin berkurang sehingga bayi akan lahir dengan berat badan rendah, keguguran, anak dengan kepintaran kurang {IQ rendah). Pada kulit akan cepat menjadi keriput dan kendur.

Hidrokarbon, bila dihirup akan mengakibatkan iritasi paru-paru dan dalam jangka panjang akan menyebabkan kanker paru-paru. Formalin: Selain sebagai bahan pensucihamaan dan pengawet mayat, yang berupa gas formalin dapat terhirup dari asap sisa pembakaran. Bila keracunan formalin: timbul mual,muntah, diare, bersih, radang amandel, iritasi hidung, radang dan pembengkakan paru-paru. Pada mata akan terjadi iritasi, mata merah, berair, radang selaput mata dan lensa. Partikel debu melayang ( Suspended Partikulated Matter/SPM ) merupakan campuran berbagai senyawa organik maupun nonorganik di udara, bisa juga bercampur dengan timah hitam. Partikel ini memyebabkan iritasi saluran pernapasan dan iritasi mata. Sedangkan pada tanaman yang tumbuh di daerah dengan tingkat pencemaran udara tinggi dapat terganggu pertumbuhannya dan rawan penyakit, antara lain klorosis, nekrosis, dan bintik hitam. Partikulat yang terdeposisi di permukaan tanaman dapat menghambat proses fotosintesis.

Methane adalah gas rumah kaca ketiga terbesar berlimpah yang didistribusikan terhadap pemanasan global. Kira-kira 10 persen methane dilepaskan ke dalam atmosfer setiap tahun datang dari pembakaran biomassa (Andreae, 1991). Nitrogen monoksida dan dioksida adalah gas yang berbahaya bagi manusia, NO2 empat kali lebih berbahaya dari pada gas NO, keracunan gas ini akan menyebabkan kelumpuhan system syaraf dan kejang. Pada paru- paru menyebabkan gejala infeksi pernapasan akut ( ISPA ) kesulitan bernapas, asma, pembengkakan paru-paru. Zat Oksidan seperti Oksidanperoksida atau Oksidanfotokimia terdiri dari Ozon, Nitrogen dioksida, Peroksiasetilnitrat, gas gas ini akan menyebabkan gangguan pernapasan sampai pembengkakan dan kanker paru paru. Pada susunan syaraf menyebabkan gangguan koordinasi, pusing berat, dapat juga menyebabkan iritasi mata, hidung dan tenggorokan. Sulfur oksida membuat S sebagai emisi utama dari kebakaran. Sementara itu,SO adalah polutan udara, tetapi tidak begitu dipertimbangkan, sebagian besar karena dia membuat fraksi yang relatif kecil penyusun asap. Antara 40 persen hingga 60 persen dari S dalam bahan bakar yang dikonsumsi tertinggal dalam abu setelah kebakaran.

Perubahan iklim juga akan menambah resiko frekuensi kebakaran hutan di wilayah selatan Indonesia dimana hutan secara umum lebih kering, termasuk di selatan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan juga Jawa serta Bali.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dampak dari kebakaran hutan yang diakibatkan perubahan iklim ini juga berakibat pada:

  • Kesehatan. Selain mengemisikan karbon dioksida, kebakaran hutan juga akan melepaskan ke udara gas-gas beracun seperti karbon monoksida, ozon, nitrogen dioksida, hidrokarbon yang dapat mengakibatkan penyakit pernafasan yang gawat. Curah hujan yang lebih tinggi dan banjir akan mendorong distribusi yang lebih luas dari penyakit yang disebarkan melalui air. Suhu tropik yang lebih tinggi akan meningkatkan kejadian penyakit yang berasal dari makanan.

  • Mata Pencaharian. Meningkatnya prevalensi dan intensitas kebakaran akan mengancam berbagai komunitas yang sangat bergantung kepada hutan untuk memberikan mereka kayu dan juga kebutuhan non-kayu melalui kemunduran habitat hutan, dan akan mengancam ketersediaan air bersih.

  • Kehilangan Keanekaragaman Hayati. Kebakaran akan mengeliminasi tumbuhan dan hewan, selain sekaligus mendegradasi habitat hutan. Kebakaran tahun 1997-1998 mengurangi populasi orangutan sebesar sepertiganya.

  • Kehutanan dan Pertanian. Kebakaran hutan alami maupun yang disengaja telah menghancurkan kawasan luas hutan komersial maupun perkebunan dan pertanian, seperti hutan untuk bubur kayu dan perkebunan kelapa sawit.

  • Pariwisata Kebakaran dan kabut asap mengurangi jumlah wisatawan yang mengunjungi kawasan wisata dan hutan. Kebakaran dapat menghancurkan potensi hutan bagi wisata.

  • Transportasi. Kabut asap dari kebakaran dapat mengganggu lalu lintas di perkotaan, pelayaran laut. Rendahnya daya pandang yang diakibatkan adanya kebakaran hutan telah dikaitkan dengan terjadinya kecelakaan lalulintas udara dan pelayaran.

  • Emisi GRK (Gas Rumah Kaca). Kebakaran merupakan cara paling efektif untuk mengoksidasi biomassa menjadi karbon dioksika (CO2) dan gas-gas berjejak lainnya. Kebakaran hutan 1997/98 di Indonesia menghasilkan lebih dari setengah pertumbuhan tahunan emisi CO2 dunia .

Polusi asap menjadi penyebab dari sepertiga dari kerugian ekonomi total akibat kebakaran hutan pada tahun 1997/98 yang mencapai 800 juta US$. Secara politis, polusi asap lintas-batas yang merugikan negara-negara tetangga telah menjadi isu yang sangat kontroversial. Data-data dan penelitian yang baru menunjukkan bahwa 60% dari polusi asap di Indonesia, termasuk emisi karbon, berasal dari kebakaran di lahan-lahan gambut yang menutupi hanya 10-14% dari daratan Indonesia.

Tindakan pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan kebakaran diarahkan untuk meminimalkan atau menghilangkan sumber api di lapangan. Upaya ini pada dasarnya harus dimulai sejak awal proses pembangunan sebuah wilayah, yaitu sejak penetapan fungsi wilayah, perencanaan tata guna hutan/lahan, pemberian ijin bagi kegiatan, hingga pemantauan dan evaluasi.

Kegiatan pengendalian kebakaran meliputi kegiatan mitigasi, kesiagaan, dan pemadaman api. Kegiatan mitigasi bertujuan untuk mengurangi dampak kebakaran seperti pada kesehatan dan sektor transportasi yang disebabkan oleh asap. Beberapa kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan antara lain: (1) menyediakan peralatan kesehatan terutama di daerah rawan kebakaran, (2) menyediakan dan mengaktifkan semua alat pengukur debu di daerah rawan kebakaran, (3) memperingatkan pihak-pihak yang terkait tentang bahaya kebakaran dan asap, (4) mengembangkan waduk-waduk air di daerah rawan kebakaran, dan (5) membuat parit-parit api untuk mencegah meluasnya kebakaran beserta dampaknya.

Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan cara mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya dan memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya, drainase/pengeringan dan konversi kawasan rawa-gambut harus dicegah. Apabila gambut menjadi kering secara

berlebihan, mereka akan kehilangan secara permanen sifat-sifat alaminya yang menyerupai spon dan tidak dapat direhabilitasi kembali. Lahan-lahan gambut yang terdegradasi ini harus dikelola untuk mencegah mereka menjadi padang rumput atau semak-belukar yang mudah terbakar secara teratur dan karenanya menjadi sumber kebakaran untuk daerah-daerah sekitarnya. Penggunaan api di kawasan gambut oleh masyarakat lokal hanya dapat dicegah apabila sumber penghidupan alternatif dapat disediakan. Saat ini masih belum jelas apa bentuk sumber penghidupan alternatif tersebut. Beberapa negara telah menyadari dan memperhatikan berbagai komplikasi sehubungan dengan kebakaran di lahan gambut. Mereka secara khusus telah melarang segala macam bentuk penggunaan api di kawasan-kawasan gambut, namun anehnya tetap mengijinkan pengkonversian dan pegembangan kawasan-kawasan tersebut. Malaysia dan Indonesia adalah negara-negara dimana hukum yang berlaku melarang

sepenuhnya penggunaan api di kawasankawasan gambut, namun kegiatan-kegiatan pengeringan/drainasi dan pengembangan masih diijinkan. Karena itulah, pencegahan dini oleh segenap komponen masyarakat merupakan solusi ampuh untuk menghindari kebakaran hutan dan lahan skala besar.

Wetlands mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia. Hal ini telah diakui dalam Konvensi Ramsar bahwa manusia mempunyai hubungan saling ketergantungan dengan lingkungan. Wetlands menjadi sumber utama perekonomian, kebudayaan, ilmu pengetahuan maupun nilai rekreasi, dengan hilangnya lahan basah akan sulit untuk diganti. Secara ekologis lahan basah berfungsi sebagai pengatur tata air dan sebagai habitat yang mendukung sifat-sifat flora dan fauna yang khas. Oleh sebab itu, mari kita sebagai generasi penerus bangsa harus menjaga dan melestarikan lingkungan hidup kita, terutama kawasan lahan basah agar tercipta kaseimbangan ekosistem yang hayati.















*Dikutip dari berbagai sumber

Fringging Reef in Bunaken

Gambar1. Taman Laut Bunaken

Bunaken adalah sebuah pulau seluas 8,08 km² di Teluk Manado, yang terletak di utara pulau Sulawesi, Indonesia. Berdasarkan pengukuran di google earth, diperoleh juga kira-kira luas dari Taman Laut Bunaken yaitu sekitar 17,09 km2. Pulau ini merupakan bagian dari kota Manado, ibu kota provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Taman laut ini memiliki biodiversitas kelautan salah satu yang tertinggi di dunia. Bunaken meliputi area seluas 75.265 hektar dengan lima pulau yang berada di dalamnya, yakni Pulau Manado Tua, Pulau Bunaken, Pulau Siladen, Pulau Mantehage berikut beberapa anak pulaunya, dan Pulau Naen. Meskipun meliputi area 75.265 hektar, lokasi penyelaman (diving) hanya terbatas di masing-masing pantai yang mengelilingi kelima pulau itu.

Taman Nasional Bunaken (TNB) merupakan perwakilan ekosistem perairan tropis Indonesia yang terdiri dari ekosistem hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, dan ekosistem daratan/pesisir, yang berada di pulau Sulawesi.
TNB dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan melalui SK nomor: 730/Kpts-II/1991 seluas 89,065 hektar di Kabupaten Minahasa dan Kota Manado, Propinsi Sulewesi Utara. Letak geografis 1°35’-1°49’ LU, 124°39’-124°35’ BT. Temperatur udara berkisar 26-31 derajat celcius, curah hujan 2.500-3.500 mm/tahun. Ketinggian tempat 0-800 meter dpl, kecerahan 10-30 meter dan pasang surur 2,5 meter. Musim Barat: Nopember s.d. Pebruari dan Musim Timur: Maret s.d. Oktober.
Taman nasional ini memiliki biodiversitas ke
lautan salah satu yang tertinggi di dunia. Taman nasional ini memiliki 20 titik penyelaman (dive spot) dengan kedalaman bervariasi hingga 1.344 meter. Dari 20 titik selam itu, 12 titik selam di antaranya berada di sekitar Pulau Bunaken. Sebagian besar dari 12 titik penyelaman di Pulau Bunaken berjajar dari bagian tenggara hingga bagian barat laut pulau tersebut. Di wilayah inilah terdapat underwater great walls, yang disebut juga hanging walls, atau dinding-dinding karang raksasa yang berdiri vertikal dan melengkung ke atas. Dinding karang ini juga menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan di perairan sekitar Bunaken. Sedangkan pada bagian Selatan meliputi sebagian pesisir Tanjung Kelapa.
Potensi daratan pulau-pulau taman nasional ini kaya dengan jenis palem, sagu, woka, silar dan kelapa. Jenis satwa yang ada di daratan
dan pesisir antara lain kera hitam Sulawesi (Macaca nigra nigra), rusa (Cervus timorensis russa), dan kuskus (Ailurops ursinus ursinus). Jenis tumbuhan di hutan bakau Taman Nasional Bunaken yaitu Rhizophora sp., Sonneratia sp., Lumnitzera sp., dan Bruguiera sp. Hutan ini kaya dengan berbagai jenis kepiting, udang, moluska dan berbagai jenis burung laut seperti camar, bangau, dara laut, dan cangak laut. Jenis ganggang yang terdapat di taman nasional ini meliputi jenis Caulerpa sp., Halimeda sp., dan Padina sp.

Tercatat 13 genera karang hidup di perairan Taman Nasional Bunaken, didominasi oleh jenis terumbu karang tepi dan terumbu karang penghalang. Yang paling menarik adalah tebing karang vertikal sampai sejauh 25-50 meter. Terumbu karang yang didominasi oleh jenis Pocilopora sp, Seriaattopora sp, Pachyseris sp, Porites sp, Fungia sp, Herpolitha sp, Holomitra sp, Galaxea sp, Pectinia sp, Lobophyllia sp, Echinopora sp dan Tubastrea sp.

Taman Nasional Laut Bunaken Manado Tua sebagai taman laut terindah di dunia memiliki keanekaragaman jenis organisme akuatik yang langka seperti ikan duyung, dugong-dugong, lumba-lumba dan berbagai jenis ikan hias seprti Hippocampus sp., kima raksasa, penyu sisik, penyu hijau. Di wilayah dataran terdapat monyet hitam (Macaca nigra). Sekitar 91 jenis ikan terdapat di perairan Taman Nasional Bunaken, diantaranya ikan kuda gusumi (Hippocampus kuda), oci putih (Seriola rivoliana), lolosi ekor kuning (Lutjanus kasmira), goropa (Ephinephelus spilotoceps dan Pseudanthias hypselosoma), ila gasi (Scolopsis bilineatus), dan lain-lain. Jenis moluska seperti kima raksasa (Tridacna gigas), kepala kambing (Cassis cornuta), nautilus berongga (Nautilus pompillius), dan tunikates/ascidian (Anonim1,2009).http://www.khatulistiwa.jp/index.php?option=com_content&task=view&id=383&Itemid=45

Di dalam kawasan terdapat sebuah gunung yang sudah tidak aktif lagi yaitu G. Manado Tua (+ 400 m dpl). Topografi dasar perairan secara umum memiliki konfigurasi relief/contur dasar yang beragam. Walaupun topografi dasarnya beragam, tetapi tidak terdapat daerah yang berbahaya. Taman Nasional Laut Bunaken Manado Tua termasuk beriklim tropis dengan curah hujan berkisar antara 2.000 - 3.000 mm per tahun, suhu udara antara 260 - 310 C. Selain sebagai tempat rekreasi dan wisata bahari antara lain diving, snorkeling, berjemur, berenang di laut dan lain-lain juga sebagai sarana penelitian (Anonim2,2009). http://www.dephut.go.id/informasi/tamnas/tn25bun.html






Pemanfaatan karang hidup







Kerusakan penyelam/jangkar






Pemboman Racun sianida




Ekosistem di sejumlah kawasan wisata Taman Laut Nasional Bunaken (TLNB) di Manado, Sulawesi Utara, saat ini terancam rusak. Pasalnya, tumpukan sampah yang semakin hari semakin menumpuk dari sejumlah muara sungai yang sengaja dibuang oleh orang tak bertanggung jawab di Kota Manado, mengalir ke Teluk Manado. Akibatnya, karang laut yang indah bersama pemandangan di dalam laut yang tak kalah menakjubkan itu dikuatirkan akan punah. Masalah ini, menurut Paruntu, mungkin akan menjadi akut ketika populasi manusia dan industrialisasi meningkat, khususnya di wilayah pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berhubungan dengan Teluk Manado. Jumlah penduduk Kota Manado tahun 2004 sekitar 420.000 jiwa. Jika itu dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 1990 yang sekitar 320.000 jiwa, maka dalam kurun waktu 14 tahun saja itu sudah bertambah 100.000 jiwa. Produksi limbah padat masyarakat kota Manado tahun 1999 rata-rata 1.050 meter kubik per hari dan tahun 2004 rata-rata 1.

600 meter kubik per hari. Daya angkut sampah oleh armada Dinas Kebersihan hanya kira-kira 50 persen dari jumlah total sampah per hari. Berdasarkan hal itu, dapat dicatat bahwa jumlah sampah padat bervariasi dari tahun ke tahun, dan menunjukkan angka yang meningkat seiring dengan pertambahan penduduk di Kota Manado. Menurut data The United Nation Joint Group of Expert on the Scientific Aspect of Meski demikian, keanekaragaman spesis di sini dapat terancam, jika dicemari oleh sampah, khususnya sampah plastik yang menumpuk di daerah pesisir maupun yang terapung di perairan. Sampah-sampah plastik dapat menyebabkan matinya terumbu karang karena permukaanya tertutup sampah. Selain itu, sampah dapat membawa organisme asing (alien spesies) ke habitat baru yang dapat mengancam biodiversitas(Anonim3,2009).http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2005/0804/wis02.html

Keberadaan TNB menjadi sebagai roda penggerak ekonomi Sulut dan mendukung perkembangan sarana pariwisata di Sulut. Karena itu berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan TNB. Antara lain dibuat strategi untuk pengelolaan Taman Nasional yang baru, yaitu melibatkan masyarakat dan sektor pariwisata dalam pengelolaan khususnya untuk penegakan hukum. Masyarakat diberi kesadaran, pengelolaan Taman Nasional merupakan tanggung jawab semua pihak. Pemerintah maupun masyarakat harus mempunyai andil agar kelestarian dapat terpelihara. Sebab permasalahan yang sering terjadi, masih ada masyarakat yang memanah ikan di zona pariwisata. Parahnya, ada yang menangkap ikan menggunakan bom dan sianida. Padahal mereka telah diberikan lokasi zona pemanfaatan masyarakat. Hal yang penting juga dilakukan, mengimplementasikan sistem tarif masuk untuk pengelolaan konservasi yang berkelanjutan. Selain itu, dibentuk juga Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken(DPTNB).(Anonim4,2009).http://mdopost.com/news/index.php?option=com_content&task=view&id=21675&Itemid=39

Karakteristik bio-geofisik wilayah pesisir seperti laut rentan terhadap kerusakan, baik yang diakibatkan oleh pengaruh alami maupun akibat aktivitas manusia. Faktor eksternal merupakan segala aktivitas yang berasal dari kegiatan manusia dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir, antara lain metode perlakuan yang salah, ketidakjelasan visi dan misi, dan perencanaan yang tidak terintegrasi serta tidak didukung oleh data/informasi yang aktual atau akurat. Sedangkan, faktor internal merupakan fenomena yang terjadi secara alami, antara lain geomorfologi dan oseanografi. Secara ekologis terdapat fenomena dinamis seperti: abrasi, akresi, erosi, deposisi dan intrusi air laut. Di samping itu, masih terdapat juga fenomena nonalamiah seperti: pembabatan hutan mangrove untuk pertambakan, pembangunan dermaga/jetty untuk pendaratan ikan dan reklamasi pantai. Gejala yang umum terjadi di wilayah kepesisiran adalah interaksi faktor alam dan aktivitas manusia secara bersamaan, sebagai penyebab adanya ketidakseimbangan siklus biogeokimia (Cook dan Doornkamp, 1990)

Salah satu pendekatan untuk mengatasi persoalan wilayah pesisir, diperlukan suatu konsep pengelolaan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, yang dikenal dengan Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management) atau sekarang ini lebih dikenal dengan Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu (Integrated Coastal and Ocean Management). Konsep ini bertitik tolak pada pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan di berbagai tingkat pemerintahan; antara ekosistem darat dan laut serta antara sains dan manajemen. Dalam menyusun suatu perencanaan dibutuhkan untuk menemu-kenali isu aktual, menganalisis data dan menyediakan informasi secara akurat. Mengingat wilayah pesisir di Indonesia cukup luas, maka menggali isu dan data/informasi yang aktual serta merumuskan alternatif solusinya dapat diwujudkan melalui suatu forum komunikasi, pertukaran informasi dan pengalaman antar seluruh komponen pengelola dan pemerhati pesisir dan lautan, salah satunya dalam format Konferensi Nasional (KONAS) Pengelolaan Sumberdaya Pesisir.

Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentang alam yang meliputi sifat dan karakteristik dari bentuk morfologi, klasifikasi dan perbedaannya serta proses yang berhubungan terhadap pembentukan morfologi tersebut. Secara garis besar bentuk morfologi permukaan bumi sekarang ini terbentuk oleh beberapa proses alamiah, antara lain proses agradasi yang membentuk permukaan bumi baru dengan akumulasi hasil erosi batuan pada daerah rendah, pantai dan dasar laut sedangkan proses biologi yang membentuk daratan biogenik seperti terumbu karang dan rawa gambut. Kondisi oseanografi fisika di kawasan pesisir dan laut dapat digambarkan oleh terjadinya fenomena alam seperti terjadinya pasang surut, arus, kondisi suhu dan salinitas serta angin. Fenomena tersebut memberikan kekhasan karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan sehingga menyebabkan terjadinya kondisi fisik perairan yang berbeda-beda. Suhu dan salinitas merupakan parameter oseanografi yang penting dalam sirkulasi untuk mempelajari asal usul massa air.

Suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian-pengkajian kelautan. Data suhu air dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut, tetapi juga dalam kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan, bahkan dapat juga dimanfaatkan untuk pengkajian meteorologi. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas matahari. Oleh sebab itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pula pola musiman.

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di dasar laut tropis yang di bangun terutama oleh biota penghasil kapur, khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya, seperti jenis-jenis mollusca, crustacea, ekhinodermata, polychaeta, porifera dan tunicata serta biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis ikan (Randall dan Eldredge, 1983 dalam Sabdono, 1996).

Terumbu karang merupakan keunikan diantara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan (land masses) terdapat tiga klasifikasi tipe terumbu karang yang sampai sekarang masih secara luas dipergunakan, di Bunaken merupakan tipe terumbu karang tepi (fringing reefs). Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal.

Ekosistem terumbu karang dunia diperkirakan meliputi luas 600.000 km2, dengan batas sebaran di sekitar perairan dangkal laut tropis, antara 30 °LU dan 30 °LS. Terumbu karang dapat ditemukan di 109 negara di seluruh dunia, namun diduga sebagian besar dari ekosistem ini telah mengalami kerusakan atau dirusak oleh kegiatan manusia setidaknya terjadi di 93 negara.

Berdasarkan distribusi geografinya maka 60% dari terumbu dunia ditemukan di Samudera Hindia dan Laut Merah, 25% berada di Samudera Pasifik dan sisanya 15% terdapat di Karibia. Region Indo-Pasifik terbentang mulai dari Asia Tenggara sampai ke Polinesia dan Australia, ke bagian barat sampai ke Samudera sampai Afrika Timur. Region ini merupakan bentangan terumbu karang yang terbesar dan terkaya dalam hal jumlah spesies karang, ikan, dan moluska.

Zonasi terumbu karang berdasarkan hubungannya dengan paparan angin terbagi menjadi dua (gambar 5), yaitu:

  • Windward reef (terumbu yang menghadap angin)

Windward merupakan sisi yang menghadap arah datangnya angin. Zona ini diawali oleh reef slope atau lereng terumbu yang menghadap ke arah laut lepas. Di reef slope, kehidupan karang melimpah pada kedalaman sekitar 50 meter dan umumnya didominasi oleh karang lunak. Namun, pada kedalaman sekitar 15 meter sering terdapat teras terumbu atau reef front yang memiliki kelimpahan karang keras yang cukup tinggi dan karang tumbuh dengan subur.

Mengarah ke dataran pulau atau gosong terumbu (patch reef), di bagian atas reef front terdapat penutupan alga koralin yang cukup luas di punggungan bukit terumbu tempat pengaruh gelombang yang kuat. Daerah ini disebut sebagai pematang alga atau algal ridge. Akhirnya zona windward diakhiri oleh rataan terumbu (reef flat) yang sangat dangkal.

  • Leeward reef (terumbu yang membelakangi angin)

Leeward merupakan sisi yang membelakangi arah datangnya angin. Zona ini umumnya memiliki hamparan terumbu karang yang lebih sempit daripada windward reef dan memiliki bentangan goba (lagoon) yang cukup lebar. Kedalaman goba biasanya kurang dari 50 meter, namun kondisinya kurang ideal untuk pertumbuhan karang karena kombinasi faktor gelombang dan sirkulasi air yang lemah serta sedimentasi yang lebih besar.

Wetland mempunyai beberapa ciri yang tampak, dan yang paling jelas adalah adanya air yang tetap, tanah wetland yang unik dan ditumbuhi oleh vegetasi yang mampu beradaptasi atau toleran terhadap tanah yang jenuh air. Wetland tidak mudah untuk didefinisikan, namun secara khusus untuk tujuan yang formal karena memiliki selang kondisi hidrologi yang dapat dipertimbangkan, karena wetland berada pada antara lahan kering dan sistem air dalam, dan karena memiliki variasi yang besar dalam ukuran, luasan, dan pengaruh manusia.

Perubahan yang mungkin terjadi akibat perubahan iklim global terhadap lahan basah tentunya adalah manfaat lahan basah itu sediri, karena sebagian dari lahan basah bergantung langsung pada proses geofisiknya, seperti kemampuan retensi sendimen, daya tampung banjir dan kapasitas buffer badai, kondisi iklim, biologis dan fungsi sosio-kultural termasuk dampak perubahan iklim global dan stabilitasnya, kelestarian keragaman hayati yang merupakan ornamental keindahan alami.

Apabila iklim global berubah, akibatnya akan terasa secara langsung dan tidak langsung pada manfaatnya. Lahan basah itu sendiri secara berangsur juga akan berubah menjadi lahan basah yang berbeda baik secara bioligis, fisik ataupun unsur kimia yang ada didalamnya yang tak lain merupakan dampak dari perubahan iklim global. Akibatnya, lahan basah yang alami secara berangsur akan berubah menjadi lahan basah yang berbeda yang juga akan mendatangkan perbedaan manfaat beserta bahaya yang berbeda pula. Pemanasan global juga menyebabkan perubahan tingkat keasaman terumbu karang yang menyebabkan kepunahan ekosistem tersebut. Air laut makin tidak asin lagi, dan seterusnya. Padahal disisi lain laut juga dapat menjadi penyelamat terhadap pemanasan global sebagaimana hutan. Seiring dengan meningkatnya suhu bumi, maka es dikutub pun mulai mencair. Air laut yang merasuk hingga ke daratan dapat merusak keseimbangan ekosistem lahan basah. Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut juga menjadi ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau.

Luas lahan basah (wetland) di dunia mencapai 8.558.000 km2 atau lebih dari 6% luas permukaan bumi yang terbagi atas zona polar 200.000 km2; Boreal 2.558.000 km2; sub Boreal km2; sub tropis km2 dan zona tropis 2.638.000 km2 (Maltby and Tuner, 1983). Indonesia termasuk kedalam tujuh negara di Asia Pasifik yang mempunyai lahan basah yang didukung oleh keanekaragaman lahan basah yang luas. Luas lahan basah di Indonesia adalah sekitar 38 juta ha. Lahan basah merupakan salah satu sumberdaya lahan yang sudah, sedang dan akan menjadi sasaran dalam usaha meningkatkan produksi pangan. Lahan basah tersebut mempunyai banyak kelebihan atau keunggulan dibandingkan lahan kering dalam hal untuk keperluan memproduksi pangan dan pemukiman. Lahan basah daerah pesisir (coastal wetland) adalah salah satu tipe lahan basah yang potensial untuk dikembangkan. Namun demikian, dalam pengembangannya harus mempertimbangkan efek global dan lingkungan sekitarnya.

Sebaliknya, lahan basah merupakan ekosistem yang paling terdegradasi dan diduga telah hilang sebesar 50% dari luas lahan basah asli di dunia (Gardiner, 1994; Joes et al., 1995 dalam Spencer et al., 1998). Pertumbuhan penduduk yang cepat dan kemampuan teknologi selama Iron Age (1200 BC) mengakibatkan terjadinya pengalihan lahan basah untuk pemukiman, pertanian, industri dan penggunaan lainnya Penyebab utama degradasi lahan basah, khususnya lahan basah pesisir adalah faktor alam dan diperluas oleh campur tangan manusia.

Aktivitas manusia dengan cara mendrain lahan basah menimbulkan terjadinya subsiden dan munculnya lapisan tanah yang mengandung pyrit yang bila teroksidasi akan menghasilkan keasaman dan beracun (Manahan,1994). Hal ini juga terjadi di pantai timur Jambi, Sumatera (dendang, lagan dan simbur naik) sebagai akibat over drained (Furukawa, 1994). Di sisi lain pengalihan fungsi lahan basah pesisir untuk tempat pemukiman dan perkotaan (coastal city) dimana sekarang terdapat 24 megahydropolis yang berpenduduk lebih dari 10 juta seperti Jakarta, 13,25 juta, Mexico City 25,82 juta, Sao Paulo 23,97 juta dan New York 15,78 juta (Timmerman dan White, 1997). Potensi perkembangan kota pantai di Indonesia cukup besar seperti Semarang, Surabaya, dan beberapa kota di pantai timur Sumatera. Hal ini merupakan ancaman terhadap kelestarian lahan basah. Pengalihan lahan basah terutama lahan basah pesisir untuk tambak khususnya di Asia (Thailand dan Indonesia) yang berkembang pesat, bila tanpa dilakukan restorasi dan pengelolaan yang tepat akan menjadi masalah baik sekarang maupun masa datang.

Konservasi atau conservation lahan basah dapat diartikan sebagai suatu usaha pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada pada lahan basah sehingga dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan untuk generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi generasi yang akan datang(IUCN, 1980). Oleh karena lahan basah merupakan sumber daya yang dimanfaatkan oleh berbagai pengguna maka diperlukan suatu pengelolaan secara benar, terpadu dan berkelanjutan sehingga mempunyai kontribusi positif bagi kesejahteraan manusia kini dan mendatang.

Adapun faktor-faktor lingkungan yang berperan dalam perkembangan ekosistem terumbu karang antara lain:

  • SUHU

Secara global, sebarang terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20 °C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18 °C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25 °C, dan dapat menoleransi suhu sampai dengan 36-40 °C.

  • SALINITAS

Terumbu karang hanya dapat hidup di perairan laut dengan salinitas normal 32­35 ‰. Umumnya terumbu karang tidak berkembang di perairan laut yang mendapat limpasan air tawar teratur dari sungai besar, karena hal itu berarti penurunan salinitas. Contohnya di delta sungai Brantas (Jawa Timur). Di sisi

lain, terumbu karang dapat berkembang di wilayah bersalinitas tinggi seperti Teluk Persia yang salinitasnya 42 %.

  • CAHAYA DAN KEDALAMAN

Kedua faktor tersebut berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan.

  • KECERAHAN

Faktor ini berhubungan dengan penetrasi cahaya. Kecerahan perairan tinggi berarti penetrasi cahaya yang tinggi dan ideal untuk memicu produktivitas perairan yang tinggi pula.

  • PAPARAN UDARA (aerial exposure)

Paparan udara terbuka merupakan faktor pembatas karena dapat mematikan jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis di dalamnya.

  • GELOMBANG

Gelombang merupakan faktor pembatas karena gelombang yang terlalu besar dapat merusak struktur terumbu karang, contohnya gelombang tsunami. Namun demikian, umumnya terumbu karang lebih berkembang di daerah yang memiliki gelombang besar. Aksi gelombang juga dapat memberikan pasokan air segar, oksigen, plankton, dan membantu menghalangi terjadinya pengendapan pada koloni atau polip karang.

  • ARUS

Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk. Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae, sedangkan bersifat negatif apabila menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian karang.

Terumbu karang bukan merupakan sistem yang statis dan sederhana, melainkan suatu ekosistem yang dinamis dan kompleks. Tingginya produktivitas primer di ekosistem terumbu karang, bisa mencapai 5000 g C/m2/tahun, memicu produktivitas sekunder yang tinggi, yang berarti komunitas makhluk hidup yang ada di dalamnya sangat beraneka ragam dan tersedia dalam jumlah yang melimpah. Berbagai jenis makhluk hidup yang ada di ekosistem terumbu karang saling berinteraksi satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, membentuk suatu sistem kehidupan. Sistem kehidupan di terumbu karang dapat bertambah atau berkurang dimensinya akibat interaksi kompleks antara berbagai kekuatan biologis dan fisik.

Mangrove In Mahakam River


Gambar 1. Peta Indonesia

Ekosistem mangrove memiliki lingkungan yang sangat kompleks sehingga diperlukan beberapa adaptasi baik morfologi, fisiologi, maupun reproduksi terhadap kondisi tersebut. Beberapa adaptasi yang dilakukan terutama untuk beberapa aspek sebagai berikut :
Bertahan dengan konsentrasi garam tinggi
Pemeliharaan Air Desalinasi
Spesialisasi Akar
Reproduktif
Respon Terhadap Cahaya
Organisme yang hidup di ekosistem mangrove terutama pohon mangrove memiliki kelebihan untuk dapat bertahan pada kondisi dengan salinitas lingkungan yang tinggi. Ada tiga mekanisme yang dilakukan oleh pohon mangrove untuk bertahan terhadap kelebihan garam dari lingkungannya antara lain mensekresi garam (salt-secretors), tidak mensekresi garam (salt-excluders) dan mengakumulasi garam (accumulators).


Zonasi dan penggenangan
Spesies mangrove yang terdapat di suatu lokasi dapat berbentuk monospesies (tunggal) atau spesies campuran yang paralel terhadap garis pantai. Aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya zonasi mangrove menjadi perdebatan dan Santos et al (1997) menyatakan bahwa untuk meneliti zonasi mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan pola berdasarkan :
a. Suksesi Tumbuhan :
Pola zonasi spasial dihasilkan dari sekuens suksesi mangrove berdasarkan waktu sampai mencapai klimaksnya
b. Perubahan Geomorfologi
Asumsi yang digunakan adalah perkembangan pola zonasi berdasarkan waktu dan spasial yang dinamis sebagai akibat dari perubahan fisik dan lingkungan pada zona mid littoral seperti perubahan ukuran, konfigurasi, topografi dan geologi.
c. Fisiologi-Ekologi
Masing-masing spesies memiliki kondisi lingkungan yang optimum dan terbatas pada segmen tertentu untuk perubahan lingkungan yang terjadi.
d. Dinamika populasi
Zonasi merupakan respons terhadap perubahan faktor biotik seperti kompetisi interspesifik, reproduksi tumbuhan, strategi kolonisasi. Temperatur air dan udara serta banyaknya curah hujan menentukan jenis­jenis mangrove yang terdapat di suatu lokasi. Macnae (1966) berpendapat bahwa distribusi dan zonasi mangrove merupakan interaksi antara :
1.frekuensi pasang surut yang menggenangi,
2.kadar garam air lahan/tanah; dan,
3.kadar air lahan (drainase).
Johnstone dan Frodin (1983) mengusulkan enam tipe yang menyebabkan terjadinya zonasi yaitu:
kedalaman air dan penggenangan - ombak
pengeringan
salinity/freshwater mendominasi
substrat
Biota dan interaksi biotik
Seperempat kawasan hutan dataran rendah Indonesia yang didominasi hutan mangrove, disinyalir telah habis akibat berbagai kegiatan konversi. Jika laju perusakan hutan masih seperti sekarang, diperkirakan pada tahun 2010 seluruh kawasan hutan dataran rendah tersebut akan lenyap. Data dari World Bank maupun World Conservation Forum yang menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,5-2 juta hektare (ha) per tahun. Jika keadaan ini berlanjut, pada tahun 2005 hutan dataran rendah di Sumatera akan lenyap, menyusul Kalimantan di tahun 2010. Berdasarkan data Wetland International, setiap tahunnya ada sekitar lima juta populasi burung yang bermigrasi menghindari musim dingin, di habitat asalnya ke daerah yang lebih hangat.
Di Indonesia, ada 15 lokasi yang diidentifikasi sebagai tempat persinggahan burung-burung migran tersebut. Salah satu lokasi, berada di Semenanjung Banyuasin, Sumatera Selatan. Kawasan yang termasuk dalam area TN Sembilang ini, tercatat sebagai jalur yang digunakan lebih dari 75 jenis burung yang bermigrasi pada jalur Asia-Australia bagian timur. Setiap tahun diperkirakan ada sekitar 114.500 ekor burung migran yang singgah di lokasi itu, sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke Australia.
Dampak dari rusaknya ekosistem mangrove adalah terjadinya perubahan iklim. Menurut sejumlah penelitian yang dilakukan oleh para pakar menyatakan bahwa perubahan iklim global disebabkan oleh dua hal, yakni naiknya temperatur panas bumi yang disebabkan terjadinya penggundulan hutan. Hutan yang berfungsi sebagai penyerap panas (karbon dioksida) semakin gundul sehingga menyebabkan naiknya temperatur bumi. Dampak lain adalah terjadinya perubahan iklim, yakni naiknya temperatur panas yang kita rasakan belakangan ini. Rusaknya ekosistem lingkungan hutan berdampak pada perubahan iklim, dan terjadinya pergeseran antara musim kemarau dan musim hujan.
Hutan bakau di Indonesia saat ini dinilai dalam keadaan sangat kritis. Di beberapa pesisir, hutan bakau mengalami kerusakan yang sangat parah hingga mencapai 90 persen. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1993 -2003), hutan bakau yang berada di seluruh pesisir Indonesia lenyap. Akibatnya, kualitas kehidupan masyarakat pesisir pun turut merosot dan bencana alam tidak terhindarkan.
Manurut hasil penelitian yang dilakukan oleh ICoMAR, pada tahun 1997 mangrove di kawasan delta mahakam mencapai 150.000 ha, namun kini hanya tersisa 15 persen atau sekitar 2.000 ha.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi sumber daya mangrove yang sangat luar biasa. Apabila dikelola dengan baik maka dapat memberikan manfaat besar bagi kita semua. Negeri yang hijau yang digambarkan sebagai paru-paru dunia, kini menjadi negeri yang menakutkan. Keramahan alam yang dulu dikenal begitu ramah, kini seperti begitu mudahnya mengeluarkan amarah. Beberapa waktu lalu begitu banyak peristiwa alam yang merenggut banyak jiwa warga.
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Secara biologi fungsi dari pada hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, fungsi yang lain sebagai daerah mencari makan (feeding ground) karena mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove dimana dari sana tersedia banyak makanan bagi biota-biota yang mencari makan pada ekosistem mangrove tersebut, dan fungsi yang ketiga adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Selain itupun merupakan pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya. Secara fisik mangrove berfungsi dalam peredam angin badai dan gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Secara ekonomi mangrove mampu memberikan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, baik itu penyediaan benih bagi industri perikanan, selain itu kayu dari tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan untuk sebagai kayu bakar, bahan kertas, bahan konstruksi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Dan juga saat ini ekosistem mangrove sedang dikembangkan sebagai wahana untuk sarana rekreasi atau tempat pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan negara. Ekosistem mangrove secara fisik maupun biologi berperan dalam menjaga ekosistem lain di sekitarnya, seperti padang lamun, terumbu karang, serta ekosistem pantai lainnya. Berbagai proses yang terjadi dalam ekosistem hutan mangrove saling terkait dan memberikan berbagai fungsi ekologis bagi lingkungan. Selain itu hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi. Tingginya produktivitas ini karena memperoleh bantuan energi berupa zat-zat makanan yang diangkut melalui gerakan pasang surut. Sebagai produser primer, mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktivitas pada ekosistem estuari dan perairan pantai melalui siklus materi yang berdasarkan pada detritus atau serasah. Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem mangrove dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk menggambarkan produktivitas.


Gambar 2. Mahakam River

Sebaran hutan mangrove di dataran Delta Mahakam, yang terletak di Propinsi Kalimantan Timur, mengalami degradasi akut. Kawasan yang memiliki arti penting bagi lingkungannya tersebut telah digantikan oleh ribuan hektar tambak udang semenjak krisis moneter di tahun 1997, yang didorong oleh harga udang ekspor yang melejit. Setelah periode kemakmuran yang sangat singkat tersebut, hanya sekitar 5 tahun dan dimana sebagian besar keuntungan lari kepada investor luar, penduduk setempat kini menghadapi lingkungan yang rusak. Kualitas air minum menurun, ternak udang terkena penyakit, erosi pantai dan sungai meningkat, konflik horisontal penggunaan lahan meruncing, dan potensi perikanan di kawasan hutan mangrove merosot drastis.


Gambar 3. Zonasi tumbuhan di Delta Mahakam

Luas hutan mangrove di Delta Mahakam semula diperkirakan mencapai 1000 km2, namun saat ini yang tersisa hanya 20 %. Sekitar 80 % lainnya telah musnah dibabat dan berganti menjadi ribuan hektar tambak udang dengan produksi sekitar 5600 ton per tahun. Selama ini, pengaruh pembabatan hutan mangrove terhadap penurunan daya dukung fisik pesisir dapat dikategorikan menjadi 3 hal, yaitu peningkatan laju abrasi, intrusi air laut, dan penurunan potensi perikanan.

Gambar 4. Citra satelit SPOT meliputi sebagian Delta Mahakam.

*Warna merah mengindikasikan tutupan vegetasi, termasuk hutan mangrove. (a) Tahun 1992, tambak udang hanya meliputi 4 % dari luas hutan mangrove. (b). Tahun 1998, tambak udang telah merusak 41% dari luas hutan mangrove. (c) Inset dari daerah di dalam kotak bergaris putih pada gambar (b), menunjukkan pola tambak yang berkembang di kawasan tersebut.



Gambar 5. Proses perubahan lahan secara drastis di Delta Mahakam sebagai dampak krisis moneter. Perubahan paling besar dialami oleh hutan nipah

Delta Mahakam terbentuk dari hasil sedimentasi Sungai Mahakam, sebuah sungai terpanjang di Kalimatan Timur, selama ribuan tahun. Menurut data hasil perhitungan melalui google earth diperoleh panjang Sungai Mahakam sekitar 516,83 km atau setara dengan 516.831,66 m. Sedangkan luas datarannya adalah sekitar 1700 km2 yang terbagi menjadi 4 zona vegetasi, yaitu hutan tanaman keras tropis dataran rendah, hutan campuran tanaman keras dan palma dataran rendah, hutan rawa nipah dan hutan bakau (Gambar 1). Dua zona vegetasi yang terakhir, karena penyebarannya tergantung pada keberadaan air laut, seringkali disebut bersama-sama sebagai hutan mangrove, dan menutupi 60% luas dataran delta. Sistem perakaran hutan mangrove yang kokoh mampu menahan empasan ombak dan mencegah abrasi pantai, membuatnya berfungsi sebagai zona penyangga (buffer zone).
Ekosistem hutan mangrove merupakan habitat bagi beragam jenis biota laut. Penduduk setempat sudah lama memanfaatkan kawasan ini sebagai areal tangkapan ikan, udang, dan kepiting. Kekayaan ekosistem Delta Mahakam sangat didukung oleh lokasi delta tersebut yang terletak di tepi barat Selat Makassar, sebuah selat yang sangat penting bagi iklim dan ekonomi dunia. Melalui selat inilah, arus laut antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia mengalir dan kaya akan zat-zat nutrisi.
Semenjak tahun 1996, laju abrasi diperkira-kan mencapai sekitar 1.4 km2 per tahun; semen-tara sebelumnya hanya sekitar 0.13 km2 per tahun [8]. Angka-angka tersebut sungguh mengejutkan, karena menunjukkan adanya peningkatan laju abrasi pantai sebesar 10 kali lipat akibat rusaknya hutan mangrove.
Dewasa ini, penduduk di bagian hilir daerah aliran sungai (DAS) Mahakam semakin sering mengalami intrusi air laut terhadap sumur-sumur mereka dan menyebabkan air sumur menjadi berasa payau. Hampir setiap musim kemarau intrusi air laut masuk puluhan kilometer dari garis pantai dan juga diduga menyebabkan semakin menghilangnya berbagai jenis ikan air tawar.
Kegiatan pertambakan di Delta Mahakam telah melebihi daya dukung lingkungan. Ketika luas areal mangrove yang dialihfungsikan melebihi 20%, masalah degradasi lingkungan mulai muncul yang berdampak pada kematian udang hingga kegagalan panen. Diperkirakan kematian udang tersebut antara lain disebabkan oleh pencemaran pakan udang, penggunaan benih udang yang tidak bebas penyakit dan sistem sanitasi tambak yang buruk. Kegagalan panen tambak tersebut kemudian berakibat pada terpicunya konflik horisontal antara dua pelaku utama ekonomi utama daerah tersebut, yaitu petani tambak dan perusahaan industri minyak dan gas bumi. Petambak mengklaim bahwa polusi dan limbah buangan dari perusahaan yang menjadi penyebabnya. Sedangkan perusahaan mengatakan telah menggunakan teknik eksploitasi dan pengelolaan limbah yang aman terhadap lingkungan.
Hancurnya ekosistem mangrove juga berakibat punahnya kawasan memijah dan pembesaran untuk beragam jenis ikan di Delta Mahakam dan kawasan laut di sekitarnya. Kondisi tersebut mengakibatkan merosotnya produksi perikanan pesisir. Menurut pengakuan seorang nelayan, sebelum marak pembukaan tambak tahun 1999, mereka bisa menangkap ikan bawal sekitar 20 kilogram per hari. Namun, saat ini, untuk mendapat 10 kilogram bawal per hari sudah cukup sulit. Bahkan para pencari bibit udang sudah mengeluh karena hasil perolehan bibit terus mengalami penurunan.
Secara alamiah Delta Mahakam menghadapi naiknya muka air laut yang menyebabkan pengaruh energi laut semakin kuat dan laju abrasi pantai semakin meningkat. Secara umum, proses naiknya air laut tersebut disebabkan oleh dua faktor, yaitu pemanasan global dan penurunan geologis. Semenjak abad ke 20, diperkirakan akan terjadi kenaikan muka airlaut sebesar 3 mm/tahun akibat pemanasan global. Sebelumnya, kenaikan muka air laut akibat penambahan volume air laut di kawasan tersebut diperkirakan hanya sebesar 0.8 mm/tahun. Secara geologis, Delta Mahakam juga terus-menerus mengalami penurunan permukaan daratan (land subsidence) dengan kecepatan sekitar 0.5 mm/tahun. Hal ini terjadi karena sekitar 80 % dari volume delta tersebut tersusun oleh endapan lumpur yang bersifat mudah terpadatkan. Selain itu, Delta Mahakam terletak pada kawasan tektonik aktif, dimana kerak bumi mengalami pergerakan secara vertikal, membuat proses penurunan daratan tersebut menjadi semakin signifikan. Hasil analisa geomorfologi dan sedimentologi menunjukkan proses penurunan geologis tersebut diperkirakan sekitar 2.7 mm/tahun. Sungai Mahakam sebetulnya adalah jenis sungai pasang-surut dimana pengaruh proses pasang surut dari laut mencapai jarak 140 km dari garis pantai ke arah hulu. Bahkan pada musim kemarau yang sangat ekstrim, seperti yang terjadi pada penghujung tahun 1982, pengaruh pasang surut tersebut mampu mencapai 360 km dari garis. Debit rerata air laut yang terbawa masuk ketika pasang dapat mencapai 2,5 kali lebih besar daripada debit rerata air tawar Sungai Mahakam, dan analisa dinamika arus menunjukkan bahwa transportasi sedimen pada bagian muara delta adalah bergerak ke arah daratan. Data-data tersebut menunjukkan bahwa secara alamiah pengaruh laut terhadap delta dan DAS Mahakam bagian hilir adalah besar dan signifikan.
Meskipun demikian, berkurangnya hutan mangrove di kawasan delta membuat pengaruh proses pasang-surut tersebut semakin dominan dan menyebabkan air laut semakin mudah masuk ke arah daratan dan membawa kembali limbah dari DAS Mahakam. Hal ini cukup mudah dipahami karena luasan hutan mangrove Delta Mahakam yang dapat menampung sementara air laut saat pasang semakin berkurang.
Ternyata hilangnya zona penyangga pesisir kawasan hutan mangrove akibat industri tambak disertai oleh proses penurunan delta secara alamiah karena faktor geologis. Kombinasi faktor antropogenik dan alamiah tersebut menyebabkan degradasi kualitas lingkungan berlangsung sangat cepat. Limbah-limbah dari DAS Mahakam, yang mestinya mampu dibuang ke laut lepas, akhirnya terperangkap di kawasan delta yang semakin terbuka terhadap energi laut yang semakin menguat. Untuk itu diperlukan studi lingkungan yang integral dan multidisiplin, yang tidak hanya meliputi kawasan Delta Mahakam saja, namun juga mempelajari perubahan lingkungan di sepanjang daerah aliran.
Menghadapi rusaknya hutan mangrove, sebaiknya dilakukan langkah-langkah praktis. Diperlukan penetapan status perlindungan pada areal mangrove yang masih utuh dan dilanjutkan dengan rehabilitasi kawasan yang telah rusak.
Pemerintah diharapkan menyusun kembali perencanaan tata ruang untuk kawasan Delta Mahakam. Dalam mengatasi konflik kepentingan, pemerintah harus berfungsi sebagai penengah dan semua stakeholder dilibatkan dalam mencari solusi terbaik. Faktor sosial harus diperhatikan mengingat budidaya tambak tersebut menyangkut mata pencarian penduduk. Badan pengelola terpadu perlu diaktifkan kembali untuk mencegah kerusakan Delta Mahakam lebih lanjut. Selama ini ijin pembukaan tambak hanya diberikan oleh kepala desa tanpa wewenang dari pihak diatasnya. Secara organisasi, pelestarian kawasan delta semestinya dikendalikan oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan potensi perikanan dan budidayanya ditangani oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.
Dan yang paling utama demi kelestarian alam berkesinambungan adalah perlunya upaya peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingya pelestarian hutan mangrove.