BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 27 Mei 2009

Fringging Reef in Bunaken

Gambar1. Taman Laut Bunaken

Bunaken adalah sebuah pulau seluas 8,08 km² di Teluk Manado, yang terletak di utara pulau Sulawesi, Indonesia. Berdasarkan pengukuran di google earth, diperoleh juga kira-kira luas dari Taman Laut Bunaken yaitu sekitar 17,09 km2. Pulau ini merupakan bagian dari kota Manado, ibu kota provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Taman laut ini memiliki biodiversitas kelautan salah satu yang tertinggi di dunia. Bunaken meliputi area seluas 75.265 hektar dengan lima pulau yang berada di dalamnya, yakni Pulau Manado Tua, Pulau Bunaken, Pulau Siladen, Pulau Mantehage berikut beberapa anak pulaunya, dan Pulau Naen. Meskipun meliputi area 75.265 hektar, lokasi penyelaman (diving) hanya terbatas di masing-masing pantai yang mengelilingi kelima pulau itu.

Taman Nasional Bunaken (TNB) merupakan perwakilan ekosistem perairan tropis Indonesia yang terdiri dari ekosistem hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, dan ekosistem daratan/pesisir, yang berada di pulau Sulawesi.
TNB dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan melalui SK nomor: 730/Kpts-II/1991 seluas 89,065 hektar di Kabupaten Minahasa dan Kota Manado, Propinsi Sulewesi Utara. Letak geografis 1°35’-1°49’ LU, 124°39’-124°35’ BT. Temperatur udara berkisar 26-31 derajat celcius, curah hujan 2.500-3.500 mm/tahun. Ketinggian tempat 0-800 meter dpl, kecerahan 10-30 meter dan pasang surur 2,5 meter. Musim Barat: Nopember s.d. Pebruari dan Musim Timur: Maret s.d. Oktober.
Taman nasional ini memiliki biodiversitas ke
lautan salah satu yang tertinggi di dunia. Taman nasional ini memiliki 20 titik penyelaman (dive spot) dengan kedalaman bervariasi hingga 1.344 meter. Dari 20 titik selam itu, 12 titik selam di antaranya berada di sekitar Pulau Bunaken. Sebagian besar dari 12 titik penyelaman di Pulau Bunaken berjajar dari bagian tenggara hingga bagian barat laut pulau tersebut. Di wilayah inilah terdapat underwater great walls, yang disebut juga hanging walls, atau dinding-dinding karang raksasa yang berdiri vertikal dan melengkung ke atas. Dinding karang ini juga menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan di perairan sekitar Bunaken. Sedangkan pada bagian Selatan meliputi sebagian pesisir Tanjung Kelapa.
Potensi daratan pulau-pulau taman nasional ini kaya dengan jenis palem, sagu, woka, silar dan kelapa. Jenis satwa yang ada di daratan
dan pesisir antara lain kera hitam Sulawesi (Macaca nigra nigra), rusa (Cervus timorensis russa), dan kuskus (Ailurops ursinus ursinus). Jenis tumbuhan di hutan bakau Taman Nasional Bunaken yaitu Rhizophora sp., Sonneratia sp., Lumnitzera sp., dan Bruguiera sp. Hutan ini kaya dengan berbagai jenis kepiting, udang, moluska dan berbagai jenis burung laut seperti camar, bangau, dara laut, dan cangak laut. Jenis ganggang yang terdapat di taman nasional ini meliputi jenis Caulerpa sp., Halimeda sp., dan Padina sp.

Tercatat 13 genera karang hidup di perairan Taman Nasional Bunaken, didominasi oleh jenis terumbu karang tepi dan terumbu karang penghalang. Yang paling menarik adalah tebing karang vertikal sampai sejauh 25-50 meter. Terumbu karang yang didominasi oleh jenis Pocilopora sp, Seriaattopora sp, Pachyseris sp, Porites sp, Fungia sp, Herpolitha sp, Holomitra sp, Galaxea sp, Pectinia sp, Lobophyllia sp, Echinopora sp dan Tubastrea sp.

Taman Nasional Laut Bunaken Manado Tua sebagai taman laut terindah di dunia memiliki keanekaragaman jenis organisme akuatik yang langka seperti ikan duyung, dugong-dugong, lumba-lumba dan berbagai jenis ikan hias seprti Hippocampus sp., kima raksasa, penyu sisik, penyu hijau. Di wilayah dataran terdapat monyet hitam (Macaca nigra). Sekitar 91 jenis ikan terdapat di perairan Taman Nasional Bunaken, diantaranya ikan kuda gusumi (Hippocampus kuda), oci putih (Seriola rivoliana), lolosi ekor kuning (Lutjanus kasmira), goropa (Ephinephelus spilotoceps dan Pseudanthias hypselosoma), ila gasi (Scolopsis bilineatus), dan lain-lain. Jenis moluska seperti kima raksasa (Tridacna gigas), kepala kambing (Cassis cornuta), nautilus berongga (Nautilus pompillius), dan tunikates/ascidian (Anonim1,2009).http://www.khatulistiwa.jp/index.php?option=com_content&task=view&id=383&Itemid=45

Di dalam kawasan terdapat sebuah gunung yang sudah tidak aktif lagi yaitu G. Manado Tua (+ 400 m dpl). Topografi dasar perairan secara umum memiliki konfigurasi relief/contur dasar yang beragam. Walaupun topografi dasarnya beragam, tetapi tidak terdapat daerah yang berbahaya. Taman Nasional Laut Bunaken Manado Tua termasuk beriklim tropis dengan curah hujan berkisar antara 2.000 - 3.000 mm per tahun, suhu udara antara 260 - 310 C. Selain sebagai tempat rekreasi dan wisata bahari antara lain diving, snorkeling, berjemur, berenang di laut dan lain-lain juga sebagai sarana penelitian (Anonim2,2009). http://www.dephut.go.id/informasi/tamnas/tn25bun.html






Pemanfaatan karang hidup







Kerusakan penyelam/jangkar






Pemboman Racun sianida




Ekosistem di sejumlah kawasan wisata Taman Laut Nasional Bunaken (TLNB) di Manado, Sulawesi Utara, saat ini terancam rusak. Pasalnya, tumpukan sampah yang semakin hari semakin menumpuk dari sejumlah muara sungai yang sengaja dibuang oleh orang tak bertanggung jawab di Kota Manado, mengalir ke Teluk Manado. Akibatnya, karang laut yang indah bersama pemandangan di dalam laut yang tak kalah menakjubkan itu dikuatirkan akan punah. Masalah ini, menurut Paruntu, mungkin akan menjadi akut ketika populasi manusia dan industrialisasi meningkat, khususnya di wilayah pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berhubungan dengan Teluk Manado. Jumlah penduduk Kota Manado tahun 2004 sekitar 420.000 jiwa. Jika itu dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 1990 yang sekitar 320.000 jiwa, maka dalam kurun waktu 14 tahun saja itu sudah bertambah 100.000 jiwa. Produksi limbah padat masyarakat kota Manado tahun 1999 rata-rata 1.050 meter kubik per hari dan tahun 2004 rata-rata 1.

600 meter kubik per hari. Daya angkut sampah oleh armada Dinas Kebersihan hanya kira-kira 50 persen dari jumlah total sampah per hari. Berdasarkan hal itu, dapat dicatat bahwa jumlah sampah padat bervariasi dari tahun ke tahun, dan menunjukkan angka yang meningkat seiring dengan pertambahan penduduk di Kota Manado. Menurut data The United Nation Joint Group of Expert on the Scientific Aspect of Meski demikian, keanekaragaman spesis di sini dapat terancam, jika dicemari oleh sampah, khususnya sampah plastik yang menumpuk di daerah pesisir maupun yang terapung di perairan. Sampah-sampah plastik dapat menyebabkan matinya terumbu karang karena permukaanya tertutup sampah. Selain itu, sampah dapat membawa organisme asing (alien spesies) ke habitat baru yang dapat mengancam biodiversitas(Anonim3,2009).http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2005/0804/wis02.html

Keberadaan TNB menjadi sebagai roda penggerak ekonomi Sulut dan mendukung perkembangan sarana pariwisata di Sulut. Karena itu berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan TNB. Antara lain dibuat strategi untuk pengelolaan Taman Nasional yang baru, yaitu melibatkan masyarakat dan sektor pariwisata dalam pengelolaan khususnya untuk penegakan hukum. Masyarakat diberi kesadaran, pengelolaan Taman Nasional merupakan tanggung jawab semua pihak. Pemerintah maupun masyarakat harus mempunyai andil agar kelestarian dapat terpelihara. Sebab permasalahan yang sering terjadi, masih ada masyarakat yang memanah ikan di zona pariwisata. Parahnya, ada yang menangkap ikan menggunakan bom dan sianida. Padahal mereka telah diberikan lokasi zona pemanfaatan masyarakat. Hal yang penting juga dilakukan, mengimplementasikan sistem tarif masuk untuk pengelolaan konservasi yang berkelanjutan. Selain itu, dibentuk juga Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken(DPTNB).(Anonim4,2009).http://mdopost.com/news/index.php?option=com_content&task=view&id=21675&Itemid=39

Karakteristik bio-geofisik wilayah pesisir seperti laut rentan terhadap kerusakan, baik yang diakibatkan oleh pengaruh alami maupun akibat aktivitas manusia. Faktor eksternal merupakan segala aktivitas yang berasal dari kegiatan manusia dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir, antara lain metode perlakuan yang salah, ketidakjelasan visi dan misi, dan perencanaan yang tidak terintegrasi serta tidak didukung oleh data/informasi yang aktual atau akurat. Sedangkan, faktor internal merupakan fenomena yang terjadi secara alami, antara lain geomorfologi dan oseanografi. Secara ekologis terdapat fenomena dinamis seperti: abrasi, akresi, erosi, deposisi dan intrusi air laut. Di samping itu, masih terdapat juga fenomena nonalamiah seperti: pembabatan hutan mangrove untuk pertambakan, pembangunan dermaga/jetty untuk pendaratan ikan dan reklamasi pantai. Gejala yang umum terjadi di wilayah kepesisiran adalah interaksi faktor alam dan aktivitas manusia secara bersamaan, sebagai penyebab adanya ketidakseimbangan siklus biogeokimia (Cook dan Doornkamp, 1990)

Salah satu pendekatan untuk mengatasi persoalan wilayah pesisir, diperlukan suatu konsep pengelolaan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, yang dikenal dengan Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management) atau sekarang ini lebih dikenal dengan Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu (Integrated Coastal and Ocean Management). Konsep ini bertitik tolak pada pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan di berbagai tingkat pemerintahan; antara ekosistem darat dan laut serta antara sains dan manajemen. Dalam menyusun suatu perencanaan dibutuhkan untuk menemu-kenali isu aktual, menganalisis data dan menyediakan informasi secara akurat. Mengingat wilayah pesisir di Indonesia cukup luas, maka menggali isu dan data/informasi yang aktual serta merumuskan alternatif solusinya dapat diwujudkan melalui suatu forum komunikasi, pertukaran informasi dan pengalaman antar seluruh komponen pengelola dan pemerhati pesisir dan lautan, salah satunya dalam format Konferensi Nasional (KONAS) Pengelolaan Sumberdaya Pesisir.

Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentang alam yang meliputi sifat dan karakteristik dari bentuk morfologi, klasifikasi dan perbedaannya serta proses yang berhubungan terhadap pembentukan morfologi tersebut. Secara garis besar bentuk morfologi permukaan bumi sekarang ini terbentuk oleh beberapa proses alamiah, antara lain proses agradasi yang membentuk permukaan bumi baru dengan akumulasi hasil erosi batuan pada daerah rendah, pantai dan dasar laut sedangkan proses biologi yang membentuk daratan biogenik seperti terumbu karang dan rawa gambut. Kondisi oseanografi fisika di kawasan pesisir dan laut dapat digambarkan oleh terjadinya fenomena alam seperti terjadinya pasang surut, arus, kondisi suhu dan salinitas serta angin. Fenomena tersebut memberikan kekhasan karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan sehingga menyebabkan terjadinya kondisi fisik perairan yang berbeda-beda. Suhu dan salinitas merupakan parameter oseanografi yang penting dalam sirkulasi untuk mempelajari asal usul massa air.

Suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian-pengkajian kelautan. Data suhu air dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut, tetapi juga dalam kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan, bahkan dapat juga dimanfaatkan untuk pengkajian meteorologi. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas matahari. Oleh sebab itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pula pola musiman.

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di dasar laut tropis yang di bangun terutama oleh biota penghasil kapur, khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya, seperti jenis-jenis mollusca, crustacea, ekhinodermata, polychaeta, porifera dan tunicata serta biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis ikan (Randall dan Eldredge, 1983 dalam Sabdono, 1996).

Terumbu karang merupakan keunikan diantara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan (land masses) terdapat tiga klasifikasi tipe terumbu karang yang sampai sekarang masih secara luas dipergunakan, di Bunaken merupakan tipe terumbu karang tepi (fringing reefs). Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal.

Ekosistem terumbu karang dunia diperkirakan meliputi luas 600.000 km2, dengan batas sebaran di sekitar perairan dangkal laut tropis, antara 30 °LU dan 30 °LS. Terumbu karang dapat ditemukan di 109 negara di seluruh dunia, namun diduga sebagian besar dari ekosistem ini telah mengalami kerusakan atau dirusak oleh kegiatan manusia setidaknya terjadi di 93 negara.

Berdasarkan distribusi geografinya maka 60% dari terumbu dunia ditemukan di Samudera Hindia dan Laut Merah, 25% berada di Samudera Pasifik dan sisanya 15% terdapat di Karibia. Region Indo-Pasifik terbentang mulai dari Asia Tenggara sampai ke Polinesia dan Australia, ke bagian barat sampai ke Samudera sampai Afrika Timur. Region ini merupakan bentangan terumbu karang yang terbesar dan terkaya dalam hal jumlah spesies karang, ikan, dan moluska.

Zonasi terumbu karang berdasarkan hubungannya dengan paparan angin terbagi menjadi dua (gambar 5), yaitu:

  • Windward reef (terumbu yang menghadap angin)

Windward merupakan sisi yang menghadap arah datangnya angin. Zona ini diawali oleh reef slope atau lereng terumbu yang menghadap ke arah laut lepas. Di reef slope, kehidupan karang melimpah pada kedalaman sekitar 50 meter dan umumnya didominasi oleh karang lunak. Namun, pada kedalaman sekitar 15 meter sering terdapat teras terumbu atau reef front yang memiliki kelimpahan karang keras yang cukup tinggi dan karang tumbuh dengan subur.

Mengarah ke dataran pulau atau gosong terumbu (patch reef), di bagian atas reef front terdapat penutupan alga koralin yang cukup luas di punggungan bukit terumbu tempat pengaruh gelombang yang kuat. Daerah ini disebut sebagai pematang alga atau algal ridge. Akhirnya zona windward diakhiri oleh rataan terumbu (reef flat) yang sangat dangkal.

  • Leeward reef (terumbu yang membelakangi angin)

Leeward merupakan sisi yang membelakangi arah datangnya angin. Zona ini umumnya memiliki hamparan terumbu karang yang lebih sempit daripada windward reef dan memiliki bentangan goba (lagoon) yang cukup lebar. Kedalaman goba biasanya kurang dari 50 meter, namun kondisinya kurang ideal untuk pertumbuhan karang karena kombinasi faktor gelombang dan sirkulasi air yang lemah serta sedimentasi yang lebih besar.

Wetland mempunyai beberapa ciri yang tampak, dan yang paling jelas adalah adanya air yang tetap, tanah wetland yang unik dan ditumbuhi oleh vegetasi yang mampu beradaptasi atau toleran terhadap tanah yang jenuh air. Wetland tidak mudah untuk didefinisikan, namun secara khusus untuk tujuan yang formal karena memiliki selang kondisi hidrologi yang dapat dipertimbangkan, karena wetland berada pada antara lahan kering dan sistem air dalam, dan karena memiliki variasi yang besar dalam ukuran, luasan, dan pengaruh manusia.

Perubahan yang mungkin terjadi akibat perubahan iklim global terhadap lahan basah tentunya adalah manfaat lahan basah itu sediri, karena sebagian dari lahan basah bergantung langsung pada proses geofisiknya, seperti kemampuan retensi sendimen, daya tampung banjir dan kapasitas buffer badai, kondisi iklim, biologis dan fungsi sosio-kultural termasuk dampak perubahan iklim global dan stabilitasnya, kelestarian keragaman hayati yang merupakan ornamental keindahan alami.

Apabila iklim global berubah, akibatnya akan terasa secara langsung dan tidak langsung pada manfaatnya. Lahan basah itu sendiri secara berangsur juga akan berubah menjadi lahan basah yang berbeda baik secara bioligis, fisik ataupun unsur kimia yang ada didalamnya yang tak lain merupakan dampak dari perubahan iklim global. Akibatnya, lahan basah yang alami secara berangsur akan berubah menjadi lahan basah yang berbeda yang juga akan mendatangkan perbedaan manfaat beserta bahaya yang berbeda pula. Pemanasan global juga menyebabkan perubahan tingkat keasaman terumbu karang yang menyebabkan kepunahan ekosistem tersebut. Air laut makin tidak asin lagi, dan seterusnya. Padahal disisi lain laut juga dapat menjadi penyelamat terhadap pemanasan global sebagaimana hutan. Seiring dengan meningkatnya suhu bumi, maka es dikutub pun mulai mencair. Air laut yang merasuk hingga ke daratan dapat merusak keseimbangan ekosistem lahan basah. Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut juga menjadi ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau.

Luas lahan basah (wetland) di dunia mencapai 8.558.000 km2 atau lebih dari 6% luas permukaan bumi yang terbagi atas zona polar 200.000 km2; Boreal 2.558.000 km2; sub Boreal km2; sub tropis km2 dan zona tropis 2.638.000 km2 (Maltby and Tuner, 1983). Indonesia termasuk kedalam tujuh negara di Asia Pasifik yang mempunyai lahan basah yang didukung oleh keanekaragaman lahan basah yang luas. Luas lahan basah di Indonesia adalah sekitar 38 juta ha. Lahan basah merupakan salah satu sumberdaya lahan yang sudah, sedang dan akan menjadi sasaran dalam usaha meningkatkan produksi pangan. Lahan basah tersebut mempunyai banyak kelebihan atau keunggulan dibandingkan lahan kering dalam hal untuk keperluan memproduksi pangan dan pemukiman. Lahan basah daerah pesisir (coastal wetland) adalah salah satu tipe lahan basah yang potensial untuk dikembangkan. Namun demikian, dalam pengembangannya harus mempertimbangkan efek global dan lingkungan sekitarnya.

Sebaliknya, lahan basah merupakan ekosistem yang paling terdegradasi dan diduga telah hilang sebesar 50% dari luas lahan basah asli di dunia (Gardiner, 1994; Joes et al., 1995 dalam Spencer et al., 1998). Pertumbuhan penduduk yang cepat dan kemampuan teknologi selama Iron Age (1200 BC) mengakibatkan terjadinya pengalihan lahan basah untuk pemukiman, pertanian, industri dan penggunaan lainnya Penyebab utama degradasi lahan basah, khususnya lahan basah pesisir adalah faktor alam dan diperluas oleh campur tangan manusia.

Aktivitas manusia dengan cara mendrain lahan basah menimbulkan terjadinya subsiden dan munculnya lapisan tanah yang mengandung pyrit yang bila teroksidasi akan menghasilkan keasaman dan beracun (Manahan,1994). Hal ini juga terjadi di pantai timur Jambi, Sumatera (dendang, lagan dan simbur naik) sebagai akibat over drained (Furukawa, 1994). Di sisi lain pengalihan fungsi lahan basah pesisir untuk tempat pemukiman dan perkotaan (coastal city) dimana sekarang terdapat 24 megahydropolis yang berpenduduk lebih dari 10 juta seperti Jakarta, 13,25 juta, Mexico City 25,82 juta, Sao Paulo 23,97 juta dan New York 15,78 juta (Timmerman dan White, 1997). Potensi perkembangan kota pantai di Indonesia cukup besar seperti Semarang, Surabaya, dan beberapa kota di pantai timur Sumatera. Hal ini merupakan ancaman terhadap kelestarian lahan basah. Pengalihan lahan basah terutama lahan basah pesisir untuk tambak khususnya di Asia (Thailand dan Indonesia) yang berkembang pesat, bila tanpa dilakukan restorasi dan pengelolaan yang tepat akan menjadi masalah baik sekarang maupun masa datang.

Konservasi atau conservation lahan basah dapat diartikan sebagai suatu usaha pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada pada lahan basah sehingga dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan untuk generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi generasi yang akan datang(IUCN, 1980). Oleh karena lahan basah merupakan sumber daya yang dimanfaatkan oleh berbagai pengguna maka diperlukan suatu pengelolaan secara benar, terpadu dan berkelanjutan sehingga mempunyai kontribusi positif bagi kesejahteraan manusia kini dan mendatang.

Adapun faktor-faktor lingkungan yang berperan dalam perkembangan ekosistem terumbu karang antara lain:

  • SUHU

Secara global, sebarang terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20 °C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18 °C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25 °C, dan dapat menoleransi suhu sampai dengan 36-40 °C.

  • SALINITAS

Terumbu karang hanya dapat hidup di perairan laut dengan salinitas normal 32­35 ‰. Umumnya terumbu karang tidak berkembang di perairan laut yang mendapat limpasan air tawar teratur dari sungai besar, karena hal itu berarti penurunan salinitas. Contohnya di delta sungai Brantas (Jawa Timur). Di sisi

lain, terumbu karang dapat berkembang di wilayah bersalinitas tinggi seperti Teluk Persia yang salinitasnya 42 %.

  • CAHAYA DAN KEDALAMAN

Kedua faktor tersebut berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan.

  • KECERAHAN

Faktor ini berhubungan dengan penetrasi cahaya. Kecerahan perairan tinggi berarti penetrasi cahaya yang tinggi dan ideal untuk memicu produktivitas perairan yang tinggi pula.

  • PAPARAN UDARA (aerial exposure)

Paparan udara terbuka merupakan faktor pembatas karena dapat mematikan jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis di dalamnya.

  • GELOMBANG

Gelombang merupakan faktor pembatas karena gelombang yang terlalu besar dapat merusak struktur terumbu karang, contohnya gelombang tsunami. Namun demikian, umumnya terumbu karang lebih berkembang di daerah yang memiliki gelombang besar. Aksi gelombang juga dapat memberikan pasokan air segar, oksigen, plankton, dan membantu menghalangi terjadinya pengendapan pada koloni atau polip karang.

  • ARUS

Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk. Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae, sedangkan bersifat negatif apabila menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian karang.

Terumbu karang bukan merupakan sistem yang statis dan sederhana, melainkan suatu ekosistem yang dinamis dan kompleks. Tingginya produktivitas primer di ekosistem terumbu karang, bisa mencapai 5000 g C/m2/tahun, memicu produktivitas sekunder yang tinggi, yang berarti komunitas makhluk hidup yang ada di dalamnya sangat beraneka ragam dan tersedia dalam jumlah yang melimpah. Berbagai jenis makhluk hidup yang ada di ekosistem terumbu karang saling berinteraksi satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, membentuk suatu sistem kehidupan. Sistem kehidupan di terumbu karang dapat bertambah atau berkurang dimensinya akibat interaksi kompleks antara berbagai kekuatan biologis dan fisik.

0 komentar: